Biru

159 32 9
                                    

Sadar tidak, bahwa warna yang sering membersamai kita cukup lama selama di dunia, bahkan nyaris sepanjang waktu, adalah biru?

Jika tak menyadari itu, mari membaca kisah indahnya sedikit—meski saya tak yakin akan tetap sanggup menilainya begitu.

Di luar dari mendung pun hujan, sejak pagi hingga sore berganti, langit biru hampir tak pernah jenuh menyilaukan hari. Memerhatikan dari jauh hilir-mudik penghuni bumi yang berlari ke sana kemari. Mengejar sebuah ilusi atau sesuatu yang pasti, entahlah. Intinya, ia memang senang memandangi.

Bersyukur ia lantaran Tuhan-Nya memberi tugas sedemikian rupa. Selain hobi, juga penuh makna, katanya. Ia memang sesenang itu dengan manusia. Sebab peduli, maka ia bersinar, secara tak langsung mendukung kegiatan manusia-manusia itu agar tak terganggu oleh hujan yang hadirnya kerap membawa sendu.

Sayangnya, pada beberapa situasi, gradasi semburat senja dan taburan bintang di malam hari, seringnya diingat berkali-kali.

Setumpuk puisi yang berhubungan dengan mereka sering dirangkai dan dinanti 'tuk dinikmati, lalu dijadikan kenangan, diabadikan dalam memori. Penuh rentetan aksara yang menguntai, terulir dengan cantik nan rapi, tersusun, biasanya halus menyentuh sanubari.

Di ujung sana, birunya pagi terlebih teriknya siang, sebatas hanya 'diterima'. Manusia-manusia itu melanjutkan aktivitas tanpa ada apresiasi akan kehadirannya. Bahkan, tak jarang dianggap 'apanya yang istimewa?'.

Lisan dan tulisan tak banyak yang merepresentasikan vibrasi efek yang ia pancarkan. Diabadikan dalam bentuk gambar, disimpan, sesekali dilihat, lalu dikubur kembali di dalam ponsel, baik galeri maupun sosial media masing-masing diri, seringnya demikian.

Selama apapun warnanya bertahan di langit, pun betapa banyak terhampar di laut, tetap saja tak banyak yang menyadari betapa kerap keberadaannya dibutuhkan.

Iri ia pada hujan. Seberapa sering manusia gagal bepergian saat kemunculannya, tak jadi menjemur pakaian lantaran khawatir tak kering-kering, volume yang mau tak mau diperkeras karena lebih kuat suaranya dibanding pembicaraan antar manusia, tetap saja, hujan selalu direpresentasikan indah. Begitu romantis.

Atau, lantaran terlalu sering membersamai, maka birunya pagi pun teriknya siang, akhirnya terkesan biasa saja?

Lalu, saya jadi penasaran, apakah sesiapa yang mengagumi warna ini juga mengalami nasib serupa di kehidupan nyata?

Apakah itu konsekuensi dari mereka yang mengaguminya?

Juga, mungkinkah jika sang pengagum dan yang dikagumi memiliki kepribadian serupa, maka selain garis takdirnya sama, pun bisa saling memahami posisi satu sama lain?

Sepertinya, hanya konspirasi semata saya saja.

Terakhir, poin inti yang sejak tadi ingin ditarik sebenarnya adalah, dari sekian banyak tulisan tentang estetika senja dan gemerlapnya malam di luar sana, izinkan tulisan ini menjadi salah satu bentuk penghargaan bagi langit biru yang telah berlelah-lelah menantang panasnya mentari demi kepeduliannya pada bumi.

Biru, terima kasih.

Panggil Aku IntroverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang