Chapter 37 - I Would Give It All Up

938 98 35
                                    

Putusnya hubungan Celine dan Kievara, nampaknya sukses membuat Celine terpukruk berat. Saking terpukulnya ia, gadis itu sampai memilih untuk tidak muncul dimanapun selama dua minggu lamanya. Celine tidak mengikuti perkuliahan, bahkan tidak mengecek ponselnya sama sekali. Gadis itu sibuk mengurung diri di kamar, bingung sendiri karena tak terbiasa menghadapi kondisi patah hati.

Ini pertama kalinya bagi Celine merasakan sakit saat putus cinta. Dan ia sungguh hilang arah.

Tidak juga sehari pun dari dua minggu itu, Kievara mencarinya. Lelaki itu bagaikan tak pernah terlahir di dunia, lenyap begitu saja dan tidak memedulikannya. Rasa rindu yang berupaya Celine tepis, semakin hari semakin menggerayangi hatinya. Saking rindunya, Celine sering sekali mengecek ke jendela luar, berharap bahwa matanya akan menemukan Kievara di depan gerbang rumahnya seperti biasa.

Satu kata terus terulang di benak Celine.

Maaf.

Celine ingin sekali meminta maaf pada Kievara. Celine ingin menjelaskan semuanya, ingin meminta Kievara kembali lagi padanya. Sungguh, Celine hanya ingin semua kembali normal seperti kemarin-kemarin, saat Kievara masih ada untuknya.

Selama dua minggu itu, Celine seakan mengumpulkan segenap keberaniannya. Gadis itu rehat, bukan semata-mata hanya untuk ketenangan diri, melainkan menyusun strategi. Tekadnya sudah bulat, bagaimana pun sulitnya nanti, Celine harus berhasil mendapatkan maaf Kievara, dan mengembalikan situasi seperti sediakala.

Sebab setelah dijalani, kesendirian itu membuatnya tidak suka. Celine lebih suka saat bersama Kievara, saat lelaki itu masih gemar mengutarakan betapa cintanya ia pada Celine, walau selalu berakhir tidak terjawab.

Dan hari yang dinanti-nanti itu datang juga, dimana Celine akhirnya memutuskan untuk menyudahi masa sedihnya dan keluar dari rumah. Gadis itu pagi-pagi sekali sudah berada di kampus, menanti tepat di depan kelas Kievara yang seharusnya sebentar lagi dimulai. Berulang kali Celine melongok kedalam kelas, mengecek keberadaan sang lelaki yang sudah ia cari-cari sejak tadi. Namun nihil, Kievara tidak sekali pun terlihat disana.

Pada akhirnya, Celine memutuskan untuk masuk kedalam ruangan, mengedarkan pandang sejenak dan berakhir duduk didalam kelas yang bukan kelasnya itu, memilih bangku tepat di sebelah Anya yang kini mengerutkan kening kepadanya. "Celine?".

"Kievara mana?". Balas Celine berbisik.

Anya memberi tatapan malas, gadis itu ikut berbisik. "Yang pacarnya kan lo, masa nanya gue?".

"Ck. Tinggal jawab aja susah". Balas Celine sebal sendiri.

Ada helaan nafas yang terdengar dari Anya setelahnya. "Lo beneran gak tahu?".

"Gak tahu apa?". Sahut Celine bingung.

Anya menjaga suaranya tetap pelan agar tak terdengar sekitarnya. "Kan Kievara udah hampir tiga minggu ini gak masuk, Cel. Katanya sih lagi ada urusan".

Celine melongo sendiri mendengarnya. "What? Dia sama sekali gak kekampus?".

"Aneh deh, kalian tuh pacaran apa gak sih? Lagi berantem lo sama Kiev?". Balas Anya sinis, memberi tatapan aneh pada Celine.

Celine berdecak. "Ck. You're just.. Noisy".

Segera, sang gadis bangkit dari tempatnya, memilih berjalan keluar dari ruang kelas yang sudah dimulai itu tanpa basa-basi, menyisakan beberapa kepala menatap kearahnya. Celine segera melesat, sudah memiliki destinasi tersendiri di kepalanya.

Rumah Kievara.

———

Bangunan putih megah di depan Celine, terlihat begitu sunyi.

Hanya ada dua orang security yang memang ditugaskan berjaga disana seperti biasa. Sisanya, tidak ada tanda kehadiran orang disana. Terlihat begitu sepi hingga membuat Celine bertanya-tanya sendiri. Sang gadis lantas berjalan mendekat, menarik atensi dari security rumah tersebut yang sudah berulang kali bertemu dengannya.

"Non Celine?". Sapa salah satu dinatara mereka.

"Pak". Sapa Celine sembari tersenyum. "Kievara nya ada dirumah?".

Kedua security tersebut saling pandang, seakan bingung menjawab. Salah satu diantaranya menggaruk belakang leher seakan kikuk sendiri. "Aduh, Non.. Bingung saya jawabnya. Sebenarnya gak boleh bilang sama Mas Kievara".

"Maksudnya?". Balas Celine bingung.

"Mas Kievara lagi gak disini, Non. Semuanya lagi ke luar negeri, antar nyonya untuk berobat". Balas sang security lagi.

Berobat?

Jantung Celine bak dipasak seketika saat menyadari bahwa memang selama hubungan mereka, Celine jelas sama sekali tidak mengetahui apa-apa. Gadis itu lantas mengerutkan kening. "Berobat? Memang mami sakit apa, Pak?".

"Nyonya kan punya leukimia, Non. Tempo hari itu, nyonya katanya ususnya pendarahan, makanya langsung buru-buru dibawa ke rumah sakit dan ternyata butuh kembali ke luar negeri untuk penanganannya". Lanjut security berujar.

Celine menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan. "Astaga.. Ke luar negeri, kemana, Pak?".

"Singapore".

Jemari Celine langsung merogoh kedalam tas miliknya, mencari ponsel guna menelepon Kievara, yang mana sudah pernah ia coba sebelumnya namun gagal karena tidak tersambung. Kali ini, nyatanya sama. Lagi-lagi panggilan hanya tersambung ke mailbox.

Setelahnya, Celine meninggalkan beberapa pesan, bukan beberapa, banyak. Ketikannya banyak yang salah, namun ia abaikan saking kagetnya ia. Celine panik, rasa bersalahnya ikut meluap lantaran Kievara harus melalui semua ini sendirian, ditambah, ia malah menambah beban pikiran sang lelaki disaat yang tidak seharusnya.

"Pak, rumah sakit apa namanya di Singapore?". Tanya Celine lagi pada sang security.

Keduanya sama-sama menggeleng. "Waduh, kurang tahu kita, Non".

Sialan.

Kalau tidak tahu menahu sama sekali perkara dimana Kievara sekarang, akan gambling baginya terbang ke Singapore saat ini. Pasalnya, meskipun negara kecil, tetap saja, Singapore terhitung luas jika tidak tentu dimana destinasinya. Gadis itu lantas berterima kasih, memilih untuk mundur dan kembali kedalam mobil.

Disana, otaknya tak henti berpikir, perkara ini dan itu. Meninggalkan Indonesia untuk mengejar Kievara di entah berantah, bukankah itu berarti pengorbanannya sudah seluas itu?

Sedalam itukah cintanya untuk Kievara?

Nyatanya, jemari Celine bergerak jauh lebih cepat dari otaknya. Seakan selaras dengan hati yang terdalamnya. Gadis itu menelepon sang Papa, meminta beliau menuruti keinginannya. "Pa, Celine mau ke Singapore, kalau bisa sore ini. Tolong ya, Pa, tiketnya. Sama satu lagi, Pa, bisa tolong info rumah sakit terbaik di Singapore di mana?".

———

"How's Mami, Kiev?". Tanya Papi Kievara, memilih untuk duduk di sebelah putranya yang sejak kemarin tak bergerak dari sisi sang Mami, menanti dengan sabar.

Kievara menggeleng. "Masih belum sadar, Pi".

"Kita doain yang terbaik untuk Mami ya, Kiev". Balas Papi, pelan.

Kievara meraih sebelah tangan Maminya yang kini dibebat selang infus. Lelaki itu mengecupnya pelan. "Maafin Kiev ya, Mi.. Harusnya Kiev sadar kalo cuma Mami yang peduli sama Kiev. Maafin Kiev karena akhir-akhir ini udah bikin Mami kepikiran sampai drop begini. Mami juga jadi sering jagain Kiev, pastiin Kiev baik-baik aja. Padahal harusnya, Kiev yang lakuin itu buat Mami. Maaf, Mi, kalau mami buka mata nanti, Kiev janji. Kiev gak akan mikirin apa-apa lagi selain Mami, satu-satunya yang akan Kiev pikirin cuma kesehatan Mami. I would give it all up, Mi, semuanya. Kiev akan dedikasiin hidup Kiev untuk rawat Mami, janji".

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 21, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

YOU & US Where stories live. Discover now