Chapter 25 - Pernah

523 94 17
                                    

Kievara kembali terbangun saat pagi sudah menjelang, mendapati suhu tubuhnya yang mulai kembali normal. Tidak terpikir sekalipun, Kievara akan terbangun dengan pamandangan Celine yang tengah tertidur di sofa kamarnya, meringkuk guna menyamankan diri disana seakan tak mau pergi. Mata sang lelaki tak mempercayai akan betapa cantiknya Celine, dipastikan memang menjaga Kievara semalaman sampai rela untuk tidur di ruang sempit yang pasti tidak nyaman.

Bak terkoneksi, Celine ikut mengerjapkan mata, membuat bulumatanya cantiknya mengedip berulang kali sebelum benar-benar terbuka. Sang gadis mengerutkan kening, kemudian lekas bangkit untuk mendekat kearah Kievara, tidak menjaga jarak untuk duduk di kasur, dan menyusurkan punggung tangannya untuk mengecek suhu tubuh Kievara. Kedua alis Celine naik saat menemukan suhu tubuh Kievara yang sudah terlampau turun. "Gak panas lagi".

Kievara mencoba menerka, membaca situasi diantara keduanya. "Celine semalam nginap disini?".

"Iya". Balas Celine.

Dengan sulit, Kievara sontak berupaya bangkit untuk duduk. "Kenapa, Cel? Kok.. Tumben?".

"Jagain lo, bodoh. Lo tuh lagi sakit". Balas Celine singkat sebelum meminta Kievara untuk kembali berbaring. "Tidur lagi, jangan duduk dulu. Lo belum sepenuhnya pulih. Infusnya juga belum boleh dilepas".

Kievara menatapi punggung tangannya sendiri, baru menyadari kehadiran alat kesehatan yang kini menempel disana. "Kiev gak apa-apa, udah enakan kok. Celine mau diantar pulang?".

Celine mengerungkan kening. "Apa sih? Siapa yang minta pulang?".

"Kiev gak tega.. Kamu semalam tidur di sofa, pasti badannya sakit kan?". Balas Kievara lagi, berupaya meraih pipi Celine dengan jemarinya, sebuah gestur yang membuat Celine refleks menjauh karena salah tingkah.

Sang gadis menggeleng. "Biasa aja. Gue gak secengeng itu".

Suara ketukan membuat fokus keduanya beralih, menatap bersamaan kearah pintu yang kini terbuka. Mami Kievara melongokkan kepalanya, menemukan kedua manusia disana yang berhasil membuat netra wanita itu membesar. "Sayang? Sudah bangun?".

Buru-buru, wanita itu berjalan mendekat kearah anak lelakinya, kemudian memeluk tubuh yang masih lemah itu. "Oh, thank god. You're awake".

Di tengah pelukan itu, Kievara diam-diam menggenggam tangan Celine dan mengelus punggung tangannya, seakan tak melupakannya. Lelaki itu juga tersenyum untuknya. Setelah sang Mami melepas pelukan, barulah genggaman tangan Kievara pada Celine ikut lepas. "Mami udah minum obat?". Tanya Kievara pada sang Mami.

Wanita itu menggeleng. "Jangan pikirin Mami dulu, kamunya gimana? Apa yang dirasain sekarang?".

Celine diam-diam menyaksikan interaksi dua manusia itu, tersenyum sendiri karena kehangatan itu begitu menguar, seakan sampai juga pada dirinya. Kievara menggeleng sebelum menjawab. "Gak apa-apa, cuma lemes aja, Mi".

"Perutnya sakit?". Tanya sang Mami lagi dengan raut khawatir.

Kievara melipat bibirnya kedalam. "Sedikit aja, Mi. Gak apa, gak usah khawatir".

"Habis ini makan dan minum obat ya, sayang? Nanti siang Mami panggil lagi dokter untuk cek kamu". Balas sang Mami. Gantian, kini sang Mami beralih pada Celine. "Celine, makasih ya, sayang, sudah jagain Kievara. Celine habis ini juga makan ya? Semalam kan gak makan..".

Kievara ikut menatap kearah gadisnya, menunjukkan raut khawatir. "Kenapa gak makan?".

Celine membuang muka. "Gak kepikiran".

Sang Mami kemudian bangkit, pun sempat meninggalkan berpesan untuk keduanya. "Mami siapin dulu sarapannya di bawah, tunggu sebentar ya. Nanti Mami bawain kesini. Titip Kievara dulu ya, Celine?".

"Iya, Mi". Balas Celine lembut, tersenyum pada sang Mami.

Sepeninggalan sang Mami, Kievara sampai melongo dibuatnya. Mendengar gadis pujaannya memanggil wanita lainnya yang paling ia cintai, dengan sebutan Mami, membuat jantung Kievara berdegup tak karuan. "Celine panggil apa tadi?".

"Hm?". Sahut Celine tak mengerti. Pandangannya bertemu tatap dengan Kievara, terkunci disana bagai tak mampu beralih.

Kievara maju sedikit, kali ini berhasil meraih sejumput anak rambut di sisi pipi Celine dan membawanya ke belakang telinga sang gadis. "Celine panggil Mami barusan apa tadi?".

Rona kemerahan dengan cepat menjalar disana, di kedua pipi sang gadis yang kini mulai salah tingkah sendiri lagi. Ia enggan menjawab, justru menundukkan kepalanya dalam, berupaya menghindari pandangan Kievara untuknya yang terasa.. Berbeda.

Entah hanya perasaannya saja atau memang perlahan Kievara memang semakin berbeda. Tentang apa yang berubah dari sang lelaki, Celine sendiri pun tidak tahu. Merasa tak kunjung mendapat jawaban, Kievara memanggilnya sekali lagi, kali ini seraya menangkup sebelah wajah Celine. "Sayang?".

Sialan, benar-benar sialan!

Celine benar-benar tidak mengerti dengan kinerja otaknya yang seakan hilang akal saat mendengar panggilan itu untuknya. Suara berat khas Kievara di pagi hari, ditambah tatapan tulus itu, yang hanya tercipta saat sang lelaki menatap Celine.. Rasanya sulit sekali digambarkan. Jantung Celine pun tak mau kalah, ikut berlomba dalam hal membingungkan sang gadis.

"Jangan panggil-panggil sayang gitu, Kiev". Cicit Celine pada akhirnya, berhasil mengeluarkan suaranya walau susah payah.

Kievara mengerutkan keningnya, bingung. "Kenapa? Kiev kan ikutin Celine.. Celine suka panggil Kiev sayang. Celine gak suka ya?".

"I—Iya. Jangan panggil sayang". Balas Celine kikuk. Menyembunyikan alasan sebenarnya bahwa panggilan itu nyaris membuatnya gila.

Kievara terdiam sejenak, sebelum mengangguk pelan. "Okay. Kiev gak panggil kamu begitu lagi.. Maaf, ya, Kiev bikin kamu gak nyaman".

Celine tidak sanggup lagi. Pipinya sejak tadi terasa panas bukan main. Lantas, gadis itu menuduk dan menutup wajahnya dengan tangan, berupaya mengenyahkan dan menghindari pandangan Kievara sekaligus.

Gila. Perkara apa ini?

Celine belum pernah sampai seperti ini, merasakan kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan perilaku otoriternya. Dirinya lebih mirip seperti kucing sekarang, begitu penurut dan menunduk pada pemiliknya. Dan sialnya, dalam skenario sialan ini, Kievara lah pemiliknya.

Celine mengintip dari balik sela jemarinya, mendapati tatapan Kievara yang masih memaku padanya, tidak sedikitpun berubah. Pada akhirnya, Celine harus memutus kontak mata itu, jadilah ia menutup wajah Kievara dengan tangannya. "Jangan lihatin gue, Kiev".

"Loh, kenapa?". Tanya Kievara bingung, masih mencoba melepas tangan Celine dari wajahnya.

Celine bersikeras. "Pokoknya jangan!".

Dan akhirnya, Kievara berhenti memerangi. Lelaki itu menghela nafasnya dan memejamkan mata. "Ya, udah. Ini Kiev udah merem".

Celine menarik tangannya dari wajah tampan itu, mengecek kebenaran omongan sang lelaki. Dan benar saja, Kievara benar memejamkan matanya, menuruti keinginan Celine. Hanya sejenak mereka terdiam, sebelum Kievara melanjutkan bicaranya. "Walau Kiev bingung kenapa harus merem.. Padahal dari tadi Kiev lihatin Celine karena kangen, sudah gitu, Celine beneran cantik banget ternyata waktu bangun tidur begini. Gimana Kiev bisa berhenti lihatin?".

Anjing.

Jika yang berbicara seperti tadi lelaki lain, mungkin Celine akan memutar bola matanya, acuh. Sebab tahu, lelaki lain tidak ada yang sepolos dan seputih Kievara pemikirannya. Tapi karena ini Kievara Lessman yang berbicara, Celine benar-benar mati kutu. Lagi-lagi harus memegangi pipinya yang terasa panas tanpa Kievara pernah ketahui.

Sebab Celine tahu, semua ucapan Kievara tadi, adalah sebuah ketulusan sang lelaki untuknya.

———

YOU & US Where stories live. Discover now