19. You're not Black, Nolan

155 22 0
                                    

Ayahnya turut serta dalam kasus yang ia sendiri pecahkan.

Sangat mengejutkan bagi Nolan saat mendengar kabar itu dari Bunda. Wanita dengan kemeja cokelat muda itu kini tersenyum meski bibirnya bergetar, jelas menahan sakit.

Nolan tau betul bagaimana bunda mencintai ayah. Bagaimana bunda rela mempertahankan hubungannya dengan ayah yang sering main tangan.

Karena selain demi Nolan, Bunda juga menyimpan cinta yang mungkin bahkan lebih dalam dari paling Mariana jika bisa diukur.

Nolan kadang heran, kenapa wanita-wanita baik seperti bunda harus melabuhkan cintanya pada laki-laki penuh hitam seperti ayah?

Bunda menghela napas singkat kala itu. "Bunda mau mandi dulu, nanti ke Ariana lagi ya? Bunda udah kangen banget beberapa hari ini banyak kerjaan."

Saat bunda hampir berdiri, Nolan memanggilnya dengan suara pelan. "Bun."

Wanita itu menoleh dengan pandangan penuh tanya. "Iya, Nak?"

Nolan berniat meminta bunda untuk berhenti bekerja berlebihan. Nolan mau bundanya itu istirahat. Harusnya bunda bisa duduk manis di rumah jika segalanya berjalan sesuai kemungkinan yang paling baik.

Anak itu tidak bisa membayangkan bagaimana sejahteranya bunda saat ini jika ia memilih untuk tidak melahirkan Nolan dan tidak berhubungan dengan ayah, melupakan segalanya dan hidup sesuai apa yang seharusnya terjadi.

Tapi bagaimana caranya?

Bagaimana cara mengatakannya tanpa merasa bersalah dan menyesali kelahirannya sendiri?

"Bunda nggak capek?" Akhirnya hanya pertanyaan bernada teramat pelan itu yang bisa keluar dari bibir Nolan.

Bunda tersenyum hangat seperti biasa, lalu tersenyum. "Semua orang juga capek, No. Manusia perlu capek kalau mau hidupnya seimbang. Kalau nggak capek, nggak ada yang namanya istirahat. Hati-hati bakal berjalan datar."

Tangan kurus itu terulur untuk mengusak rambut legam Nolan. "Semuanya bakal baik-baik aja selama kita bersyukur," ucapnya sebelum bangkit dan berjalan menaiki tangga.

Nolan memandang kepergian bundanya dengan tatap nanar. Anak itu menghela napas lelah. Sialan sekali, kenapa semuanya bertabrakan di waktu yang sama?

Tok Tok Tok

"NOLANNN MAIN YUKKK!"

Ketukan dari arah pintu terdengar diiringi suara sahut-menyahut yang tidak nyaman di telinga. Nolan mencebik pasal bagaimana takdir mempertemukannya dengan banyak manusia bersuara melengking.

"WOY NOLAN! SAWADIKAP NAKAP NAKAP HAP HAP LALU DITANGKAP!"

Setelah dibuka, muncul sosok tiga begundal yang akhir-akhir ini hobi sekali mengacaukan ketenangannya.

Evan, Georgee dan Habie. Tiga bocah itu berjanji(memaksa) akan datang ke rumah Nolan untuk belajar soal tes masuk perguruan tinggi bersama. Padahal dari jurusan yang dipilih saja berbeda-beda, kampus yang dituju juga berbeda-beda. Tapi anak-anak itu tetap memaksa untuk belajar bersama.

Tadinya Evan mau mengajak Awinda. Tapi Nolan otomatis menolak dengan alasan terbatasnya cewek itu, karena agamanya punya norma, batasan yang mengatur bagaimana cara interaksi antara laki-laki dan perempuan.

Jangan salah, Nolan ini toleransinya tinggi!

Kalau Habie malas ibadah saja bakal dicubit habis-habisan—dibantu Ari tentunya.

"Masuk," ucap Nolan setelah memberi cukup celah untuk anak-anak itu masuk ke dalam rumahnya.

Tiga bocah itu kelihatan lucu dengan posisi berjalan Georgee yang paling tinggi di tengah, dan Habie-Evan yang lebih pendek mengikuti di belakang.

The Shades [Selesai]Where stories live. Discover now