[Bab 04; Pemandangan Baru]

Mulai dari awal
                                    

" Mau sampai kapan kamu lihat wajah saya? Tangan saya pegal " saya tersadar. Lekas menerima suapan darinya.

Demi apapun, saya tidak bisa menahan senyum. Terus menjatuhkan tatap pada wajah Aruna yang tidak memakai riasan sama sekali namun tetap cantik di pandangan saya. Cantik yang selalu sukses membuat saya tergila-gila setiap waktu.

Meskipun Aruna tidak menatap saya dan lebih memilih berfokus pada semangkuk bubur, namun saya tetap memilih Aruna sebagai satu-satunya objek yang mampu saya tatap. Saya selalu memiliki waktu hanya untuk menikmati keindahan istri saya ini, sesibuk apapun saya, meskipun pada kenyataannya Aruna tidak memperlakukan saya sepadan, tapi tak apa.

" Kamu gak kerja hari ini Na? " tanya saya di sela ia menyuapi. Matanya cantik, apalagi ketika dua bola mata kami saling bertabrakan untuk bertatap, meski tidak lama.

" Saya punya rencana, mungkin ke depannya saya cuma berkunjung beberapa kali seminggu. Saya mau banyak waktu di rumah "
" Kenapa? "
" Kenapa? Memangnya tidak boleh saya diam di rumah sendiri? "
" M-maksudnya, kok tumben? Eh, bukan, maksudnya, kenapa tiba-tiba kamu mau banyak di rumah? "
" Habiskan dulu buburnya, minum obat, baru saya lanjutkan "

Meski belum ada senyum, tapi rasanya bahagia karena Aruna ada di rumah dan membantu membuatkan sarapan. Biasanya saya yang akan memasak untuk menu makan kami setiap hari selama enam tahun. Biasanya, Aruna hanya akan membeli makanan cepat saji dibanding dengan memasak. Bukan karena tidak ada waktu tapi memang Aruna yang memilih untuk menyibukkan diri.

Tidak terdengar lagi suara obrolan kami selepas Aruna berkata demikian. Sampai makanan habis dan Aruna menyodorkan satu kaplet obat antidemam ke arah saya, barulah kami kembali berbincang. Tentu saya yang membuka obrolan.

" Saya mau cerita " Aruna berdehem seraya menegak air mineral dalam gelas miliknya.

" Semalam, kayaknya saya mimpi kamu deh Na.. " dahi Aruna nampak berkerut. Saya melanjutkan cerita.

" Antara sadar atau enggak, saya mimpi kamu peluk saya "
" Uhuk!! "
" Eh Aruna, calm down, saya cuma cerita tentang mimpi saya " dia nampak sangat terkejut sampai harus terbatuk ketika menyeruput air minum. Saya bantu menepuk tengkuknya pelan supaya ia berhenti tersedak air.

" K-kok bisa kamu sampai mimpi begitu? "
" Mana saya tau, mimpi orang demam kan memang aneh-aneh. Seandainya betul kamu peluk saya semalam "
" S-semalam, saya di tidur di kamar anak-anak, takut tertular "
" Betulkah? " dua netra milik Aruna nampak bergerak ke sembarang arah. Ia tak berani membalas tatap saya ketika saya memastikan ucapannya.

" Betul Bi, saya tidur dengan kakak dan adik, untuk apa saya bohong? "
" Iya, saya percaya, memang kamu seperti itu sejak awal "
" Seperti apa maksudnya? "
" Maksudnya, kamu gak pernah mau dekat-dekat orang sakit, dengan alasan takut tertular, padahal demam tidak menular "
" Tidak menular? "
" Tidak, yang menular itu infeksi yang menyebabkan demam, bukan demamnya "
" Oh "
" Saya juga kemarin praktik cuma sebentar, saya takut ambruk di tempat kerja "
" Sampai ceroboh kunci motor masih menggantung "
" Maaf "
" Masih mau cerita? Saya mau jemput anak-anak "
" Biar saya yang jemput "
" Gak perlu, saya juga bisa bawa kendaraan "
" Yasudah, hati-hati "

Tidak menjawab. Aruna yang memang masih mengenakan pakaian rumahan itu melenggang meninggalkan saya sendiri di meja makan. Mungkin ia akan mengganti pakaian dan bersiap terlebih dahulu, toh masih ada beberapa belas menit sebelum anak-anak pulang sekolah.

Di sela lamunan saya kembali memikirkan mimpi yang saya alami semalam. Rasa-rasanya seperti bukan mimpi, begitu terasa nyata ketika saya mendekatkan tubuh untuk lebih menempel pada tubuh Aruna, hangat dan nyaman. Terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi ketika saya merasakan bagaimana punggung saya ditepuk pelan dan surai saya diusap.

Serayu SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang