[Bab 01; Menginjak Enam Tahun]

45 4 0
                                    

Hasbi Respati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hasbi Respati

Hari minggu pagi ditemani cahaya matahari yang tembus melalui celah jendela di depan sana juga aroma kopi dalam cangkir adalah kombinasi paling sempurna. Apron berwarna coklat yang saya gunakan sejak 30 menit lalu kini sudah terkena noda pada beberapa bagian seiring dengan bahan yang saya sentuh satu persatu di atas meja.

Pagi ini saya sibuk memasak ayam goreng dengan bumbu rahasia yang sempat saya pelajari dari Ibu, dulu. Hidangan sudah hampir siap, saya menyempatkan diri menyeruput kopi dengan nikmat sebelum menyambar piring untuk menghidangkan menu sarapan pagi ini.

*tap! *tap! *tap!

" Adik duluan! "
" Kakak! " saya letakkan piring berisi ayam goreng yang masih panas di atas meja makan dan melirik kebisingan yang tercipta dari arah tangga. Dua pasang kaki mungil berlari menuruni tangga yang membuat jantung saya berdegup khawatir.

" Turun tangganya jalan kaki saja ya, pelan-pelan " ucap saya dengan memperhatikan kalimat. Kedua raga mungil tersebut menurut dan berjalan kemudian. Dengan wajah lugu dan mata yang sama-sama berbinar mereka menghampiri saya.

" Lain kali, kalau naik atau turun tangga ada baiknya jalan kaki ya.. Kalau lari-lari seperti tadi, bahaya " saya sempatkan diri mengusak kedua kepala si kembar, putra-putra saya. Mereka mengerjap lucu dan tersenyum kemudian. Mengacungkan kedua jempol tangan yang masih sangat lucu itu ke hadapan wajah saya yang masih mensejajarkan tubuh dengan mereka.

Saya kembali berdiri tegap untuk lekas menyiapkan nasi yang ternyata sudah matang. Sembari membagi fokus pada anak-anak yang mulai menaiki kursi untuk menghadap meja makan. Terdengar obrolan kecil dari si kembar yang membicarakan hal-hal yang hanya dipahami oleh mereka.

" Ayah, adik mau paha "
" Kakak juga! " saya tersenyum dan mengangguk memberi ijin.

Sibuk mengalaskan nasi, terdengar langkah kaki lain yang mendekat, istri saya pemiliknya. Wanita cantik bernama Aruna Lakshita itu berjalan mendekat dengan pakaian rapi dan wangi parfum yang lekas tercium begitu tubuhnya sampai di meja makan. Ia mengambil posisi duduk bersebrangan dengan anak-anak, menyambar gelas berisi air untuk langsung diteguk habis.

" Sudah bangun, tunggu sebentar ya " ucap saya karena masih sibuk mengalaskan nasi untuk Aruna, memastikan porsinya sesuai dan bisa dihabiskan tanpa membuang sisa makanan nantinya.

" Kenapa kulitnya disimpan di situ? " nada dingin yang Aruna lontarkan membuat saya menoleh. Ucapan tersebut diarahkan kepada anak-anak yang mengupas jeruk tanpa langsung membuang kulitnya.

Senja dan Sore -si kembar, nampak terdiam tanpa suara dan berhenti memakan jeruk mereka.

Paham karena suasana berubah canggung, lekas saya menghidangkan nasi di atas meja. Menyambar kulit jeruk dari hadapan anak-anak dan langsung saya buang tanpa bicara apapun.

" Kenapa kamu bantu mereka? " tidak saya jawab pertanyaan Aruna.

" Sudah-sudah, ayo makan " saya berusaha menyairkan suasana. Mengambil posisi duduk di samping Aruna dan memastikan bahwa anak-anak tidak merasa terlalu bersalah hanya karena kulit jeruk.

Serayu SenjaWhere stories live. Discover now