Bukan Pahlawan

26 13 33
                                    

Tak ada tempat berteduh
Jiwa yang bersedih- Ghea




-HAPPAY READING-


Namira turun dari jok motor Agra. Matanya mendelik, memandang kesal si pemaksa. Tangannya sempat terlipat, tapi diregangkannya dikala pagar rumahnya terbuka. Entah ada apa dengan pak Ayong yang sangat peka akan kedatangannya.

"Makasih ... sama-sama Namira," celetuk Agra menyindir. Tapi, yang disndir malah terlihat biasa-biasa, malahan gadis itu mencibir.

"Lo yang maksa."

"Dari pada lo rugi bayar ojek atau angkutan umum, sama mas Agra 'kan gratis," ujarnya sembari menaik-naikkan kedua alisnya menggombal. Ciri-ciri buayanya sudah terlihat memang.

Untungnya ini Namira, walau sebenarnya ada rasa tapi, gadis ini tahu harus membawa kemana perasaanya. Agra sudah memiliki pacar dan Namira tahu betul, Nabila. Nabila, siswi sekolahan sebelah.

Iya, cinta Namira bertepuk sebelah tangan. Tapi, tenang Namira bukan gadis yang sibuk menggalaui pacar orang. Katanya semua orang punya masanya jika, memang masa dia sama Arga memang tidak ada yasudah, dia harus bagaimana lagi. Jungkir balik? atau spiltt? itu mah ngaco yang adanya.

Dan, kembali lagi pada mereka berdua. Namira mencicitkan suaranya berterimakasih dan berbalik badan meninggalkan laki-laki menyebalkan ini. Tapi, lagi-lagi Agra mencekalnya yang membuatnya kemabli mencibir.

"Lo kenapasi sebenarnya? lo punya masalah apa ha?"

Kembali pada mode normal Namira, gadis itu kembali menyolot, "udah ngantarin gue 'kan? sana lo jahu-jahu."

Agra menelan salivanya, walaupun takut dia masih mencoba untuk bertanya, "ini beneran rumah lo kan? kok gede bangat. Lo anak pembantu?"

Namira mengepalkan tangannya, hembusan nafasnya terdengar, "lo pergi atau gue jambak sekarang!"

Dan, kali ini Agra menyalakan gas motor maticnya, melajukannya keluar dari kompleks Namira. Sedangkan, si pemilik rumah berjalan memasuki gerbangnya. Pak Ayong dengan ramah tersenyum menyambut sang nyonya. Namira ikut membalas, sikap manisnya memang kadang kala muncul ke tukang kebunnya

Pak Ayong itu tipe orang tua yang pengertian, mangkanya Namira suka dengannya. Disaat Namira sedang kesal dengan orang di rumahnya, pak Ayong selalu mengajaknya bermain monopoli. Karena ingin bermain catur Namira tidak pintar.

Namira membuka pintu kayu besar yang bercat putih dengan gagang bercat emas mengkilat. Gadis itu duduk di sofa favorite Aulia. Matanya menjelajah, ayah dan ibu Dewi belum pulang.

Diatas lantai dua, Billi keluar dari kamarnya. Berjalan cepat menuju kebawah, ke tempat Namira berada. Adiknya menarik paksa kakaknya mengikutinya. Menyeretnya menaiki lantai dua dan makasanya untuk masuk ke dalam kamar.

"Apaan si lo?"

Billi menutup pintu kamar dan mengunci. Mata Namira memandang tangan Billi yang menyimpan kunci kamar dalam kantong celana. Tidak sengaja, baju adiknya terangkat sedikit, terlihat memar di bagian kiri perut Billi. Walaupun melihatnya, Namira tidak perduli, amukan untuk adiknya lebih penting.

"Tinggal di rumah bikin stres lo ya?"

Billi tidak menjawab, malah mendorong kakaknya. Pantat Namira lagi-lagi terhempaskan, untung kali ini ia terjatuh di kasur empuk Billi. Sedangkan si adik tanpa rasa bersalah keluar kamar dan kembali menguncikan Nimira.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ini dia, NamiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang