Rumah

73 35 92
                                    

Bukankah rumah tempatku bersandar?
Tertawan hati- Awdella


-HAPPY READING-


Namira menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sebuah lengungkan tercipta di bibirnya. Tapi, tidak bermksud untuk tersenyum hanya sekedar melengkungkan saja. Matanya sangat tertuju pada gaya rambut yang sudah di potongnya tadi malam. Tidak terlalu buruk, tutorial dari applikasi berlogo hitam cukup bermanfaat baginya yang malas keluar rumah. Walaupun, sediki acak-acakan, rambut yang bergaya wolf cut katanya sudah cukup. Dia sudah malas dengan rambut panjangnya.

Lengkap dengan seragam SMA-nya, Namira keluar dari kamar dan langsung menuju ke dapur. Di meja makan sana terlihat Tomo ayahnya dan Billi adiknya sudah sarapan pagi lebih dahulu.

Namira ikut bergabung, mengambil sehalai roti dan mengoleskan selai cokelat pada rotinya. Tak ada percakapan sepanjang sarapan, hanya ada suara kunyahan diantara mereka. Bukan karena, ketiganya menerapkan, 'jangan ribut saat makan,' tapi memang keluarga ini jarang bercengkrama.

"Ayah duluan."

Tomo berdiri dari kursinya, "oh iya, ayah sudah nikah. Nanti ibu baru kalian datang."

Namira sempat berhenti mengunyah rotinya. Tapi, sedetik kemudian dilanjutkannya kembali. Dia tidak ingin berdebat saat ini. Namira tidak ingin moodnya rusak di pagi hari.

Setelah, kepergian Tomo, Billi ikut juga menyudahi sarapannya.

"Sorry, sebenarnya gue juga udah tahu."

Namira menyempatkan mendongkak menatap sang adik, "gue nggak nanya."

Billi mendengus lalu meninggalkan Namira sendirian di dapur.

Adiknya memilih home schooling sejak kelas 5 SD dan sejak itu Billi mengurung diri, tidak ada kenalan dan tidak ada teman. Tak ada alasan khusus, Billi hanya ingin hidup tenang tanpa gangguan orang lain.

Karena baginya orang lain adalah manusia-manusia yang tak tertebak, tapi nyatanya memang begitu. Tidak semua manusia jahat tapi, tidak semua manusia juga baik. Kedua sjfat itu, menjadi satu di dalam diri manusia. Makanya, tidak memiliki teman sebuah ide untuk menyelamatkan dirinya dari kekejian orang lain, manusia adalah makhluk manipulatif.

--••--

Kembali pada Namira, gadis itu sudah berada di kantin sekolah. Setelah menguji otaknya dengan ulangan mendadak, Namira langsung menuju ke surga sekolahnya.

Aulia yang disampingnya berceletuk panjang lebar mengenai jawaban ulangannya tadi. Dia yakin, ulangan Bahasa Inggrisnya akan mendapatkan nilai buruk.

"Lo, diam deh. Gue pusing ."

Namira menjatuhkan kepalanya ke sandaran kursi pelastik kantin. Ada helaan nafas yang panjang terdengar, "bokap gue udah nikah ternyata."

"What? lo serius?"

Namira mengangguk lemah. Sedangkan, badan Aulia sudah terputar 90 derajat menghadap ke Namira.

"Gue udah bilang dari kemarin, bokap lo jodohin sama gue. Selain lo dapat mama tiri yang baik gue juga nggak capek-capek kerja."

Ini dia, NamiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang