•• s e v e n ••

192 31 73
                                    

_____________________

Lantas, bagaimana dengan situasi dalam lapangan indoor?

Kalau yang kalian bayangkan si Biru sedang ketar-ketir panas-dingin dan gugup setengah mampu menunggu kehadiran Monita, atau lagi komat-kamit hafal kalimat sakral yang sudah dipersiapkan sejak semalam, maka kenyataannya salah besar.

Cowok berambut biru gelap itu justru tengah rebahan anteng di tribun paling bawah, dengan satu tangan memegang buket bunga matahari dan sibuk menghitung tiap-tiap kelopaknya.

Yang gugup serempet panik justru tiga cecunguk sontoloyo selaku para tim sukses. Terhitung dari menit pertama berada di sini, mereka sudah belingsatan macam cacing kena garam, dan semakin tidak bisa diam lagi karena Monita tak kunjung datang.

"Monmon lama banget sih, njir?? Ini udah lewat dua puluh menit dari bel pulang woi," tutur Calvin dengan mata terus pantengin arloji, senantiasa memberi info keterlambatan cewek itu.

"Jangan-jangan dia kaga mau datang?" Denil bagian tebar overthinking. "Atau mendadak nyungsep di jalan? Dipalak sama berandalan? Disekap dalam kamar mandi? Atau salah masuk ruangan terus tiba-tiba pindah ke dunia lain??"

"Geblek. Lo kata dia titisan Doctor Strange bisa pindah-pindah universe?" Aiden menyahut dari samping, sembari mondar-mandir macam setrika rusak. "Gue bilang juga apa. Mestinya salah satu dari kita tuh tetap stay di kelas supaya mantau dia. Sekarang lihat 'kan? Kita jadi kaga tau dia lagi mejeng di mana, sama sapa, lagi ngapain, dan kapan nongolnya."

"Tadi gue nyuruh lo tinggal, ngapa lo ikut?" balas Calvin rada sewot.

Aiden langsung berdecak. "Gue harus pastiin ini lapangan kaga dipakai siapa-siapa. Kenapa bukan lo aja yang tinggal?"

"Gue kudu beli bunga!"

"Kalo gitu—"

Kalimat Aiden tidak berlanjut, lantaran dia dan Calvin refleks menoleh pada satu oknum yang sedang duduk gelisah.

Merasa sedang ditatap tajam, Denil langsung mendongak dengan raut tanpa dosa. "Apa? Kenapa lihat gue macam begitu?"

"Berdasarkan rapat kemaren, keknya lo nggak dapat tugas apa-apa," ujar Calvin. "Ngapain lo di sini?"

"Dih, gue bagian sound system!" Cowok itu lekas menunjuk speaker mungil seukuran telapak tangan, yang barusan dicolong dari ruang musik. "Barang ini super penting demi plan C yang mantulity."

"Kecil banget, cok." Aiden tidak tahan buat berkomentar. "Speaker mini begini mah cocoknya buat hajatan semut."

"Ini yang paling pas masuk dalam saku, Brodi," jawab Denil tak mau disalahkan. "Lagian cuma untuk sesi dor-doran, bukan mau sekalian lamaran. Kalo gue bawa yang seukuran kulkas, ya auto dikira maling."

"Lah, emang ntuh hasil maling 'kan?" sambung Calvin tanpa beban.

"Enak aja. Ini pinjem!" balas Denil tidak terima. "Lo nggak tau betapa keras perjuangan gue demi dapat nih barang."

"Bahasanya dah kayak lawan penjajah."

"Emang!" Cowok itu sejenak membuang napas, memperbaiki tatanan rambut agar tetap klimis, barulah berkata penuh emosi. "Tadi gue mendadak dihadang sama si cabe keriting, abis itu ditanya macam-macam kayak teroris! Kampret emang. Tuh perempuan kalo sehari kaga muncul di sekitaran gue dan nyari masalah, mungkin bisa berhenti napas kali ya."

Alis Aiden terangkat tinggi. "Terus?"

"Ya gue nggak suka. Lihat dia tuh bikin gue kesel!" Denil super nyolot.

Blue Moon ✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora