• o n e •

240 33 120
                                    

________________________

"Bluuuuuu!"

Biru baru beberapa langkah menuju koridor, ketika seruan yang lebih mirip sangkakala kematian itu terdengar nyaring. Sudut bibirnya refleks tertarik sempurna, tapi dia sengaja tidak menoleh dan terus berjalan lurus.

Sesuai dugaan, sang empunya suara—siapa lagi kalau bukan Monita—berlari mengejarnya sambil terus memanggil heboh, bersaing dengan hiruk-pikuk percakapan anak-anak satu sekolahan yang tengah menunggu kapan bel masuk akan berbunyi.

"Biruuu!"

Biru tetap diam.

"Hoi, warna!"

Dia masih sengaja tidak menjawab, hal yang bikin Monita mulai gereget.

"Gue tau lo udah denger ya, su."

Biru tetap abai, tapi kali ini sengaja melambatkan langkah supaya si cewek tidak kesusahan mengejar.

"Biru Oceandra, menurut ajaran Ustad-nya Calvin, barang siapa yang dengan sengaja berpura-pura budek ketika saudaranya memanggil, kelak kupingnya langsung diambil sama Allah. Betingkah aja terus biar kena azab!"

Berhubung Biru belum mau budek, akhirnya dia berhenti lalu menoleh pada Monita. Mendapati raut cewek itu sudah sarat dongkol, senyum di bibirnya tertarik makin lebar.

"Selamat pagi, Moon~" Dia menyapa seramah mungkin.

"Nyi nyi nyi silimit pigi, Miin." Monita balas dengan cibir saat sampai di samping Biru. "Kebiasaan! Kudu dipanggil ratusan kali plus kena ancam dulu baru mau berhenti. Apa susahnya sih langsung nyahut?"

"Mohon maap, Baginda Ratu, tapi kita lagi di khalayak ramai." Tuturnya kalem.

"Lah terus kenapa? Bakal langsung kena kusta dan jatuh dalam dosa?"

Biru sempat tertawa garing sebelum geleng pelan. Dimasukkan satu tangan dalam saku celana, barulah menjawab nada songong. "Harus jaga imej, soalnya banyak paparazi."

Secepat kilat, wajah Monita penuh julid. "Diiiiih, emang situ artis kah??"

"Bukan, tapi cowok terganteng nomor tiga di angkatan kelas dua belas, berdasarkan voting dari anak ekskul bahasa," jelas Biru sambil pasang tampang bangga. "Kalo di novel-novel sih, gue dah pasti masuk deretan moswantitboi, Mon."

"Mos... apa?"

"Moswantitboi. Ituloh, istilah buat cowok idaman ciwik-ciwik."

"Most wanted boy!" Ralat Monita separuh nge-gas.

Biru angguk-angguk paham. "Lahiya, moswantitboi. Nggak usah protes pelafalan gue beda. Lidah ini emang tercipta untuk kearifan lokal, bukan enggres-enggresan."

Cewek itu jadinya membuang napas panjang sambil merotasi mata. "Serah lo aja deh ya. Sekarang ada sesuatu yang very very important yang mau gue pastiin."

"Apa?"

"Hari ini nggak ada pelajaran Sejarah, kan? Sumpret, gue lupa banget bawa tugas-tugasnya. Tadi pas udah di tengah jalan baru gue mendadak inget. Mau minta tolong Iresa buat putar balik, yang ada kepala gue yang diputar sama dia. Tapi kalau hari ini tugasnya kaga dikumpul, dah pasti Rina bakal murka besar. Bener kata si Denil, mentang-mentang materinya soal romusha, belio suka banget bikin kita kerja paksa. Dikira kita masih jaman penjajahan kali, ya." Cerocos Monita dalam sekali tarikan napas, seraya tangannya sibuk merogoh saku rok entah mencari apa.

"Kayaknya sih enggak," balas Biru singkat.

Cewek itu langsung mendongak diikuti kernyit tak puas. "Kok pakai kayaknya?"

Blue Moon ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang