• t w o •

202 32 32
                                    

______________________

Ada kutipan yang bilang, mengenang memori lama dengan orang yang masih hidup kerap menyakitkan. Namun, akan lebih menyakitkan lagi bila terperangkap dalam memori bersama orang yang sudah tidak bisa ditemui. Sebab sebesar apa pun merindu, itu tidak akan tersampaikan.

Hari ini genap enam tahun kepergian bunda, dan kutipan tersebut selalu berhasil memukul telak Biru.

Bila perasaan manusia diumpamakan dengan cuaca, maka sekarang seperti ada hujan deras, petir guntur bersahutan, angin kencang, dan badai yang tidak berhenti memporak-porandakan hatinya, yang turut membuat dadanya sesak tiap kali menarik napas.

Tahun demi tahun telah berlalu, tidak membuat segala jadi lebih baik.

Orang-orang kerap berkata, bunda mengakhiri hidup karena menderita secara emosional. Penyakit itu susah sembuh bukan karena tidak ada obat, melainkan karena tidak kelihatan. Dari luar tampak baik-baik saja, tapi tiap tarikan napasnya bisa begitu menyiksa. Mereka bilang bunda tidak sanggup menerima kenyataan bahwa ayah memiliki keluarga lain. Beliau tertekan dan stres berlebihan, sehingga pilihan terakhir ialah meregang nyawa.

Mungkin, bunda putuskan pergi karena tidak ingin Biru ikut menderita. Dia mengira bahwa setelah mati, segala rasa sakit yang ditanggung akan turut hilang.

Faktanya... bunda tidak pernah menghentikan rasa sakit itu. Beliau justru memberikan semuanya kepada Biru, meninggalkan kubangan besar luka yang mustahil sembuh, juga mimpi buruk yang setia hadir dalam tidur.

Biru tidak pernah membayangkan hidup tanpa sosok bunda. Maka ketika hari mengerikan itu terjadi, dia tidak hanya kehilangan bunda, tapi juga dirinya sendiri.

Sekalipun kini ayah lebih sering berada di rumah, dan ada wanita asing yang diperkenalkan sebagai ibu tirinya, itu tidak membuat dia baik-baik saja. Upaya mereka untuk menciptakan suasana keluarga yang hangat, pun bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa, justru bikin dia semakin muak.

"Biru, mau sampai kapan kamu begini terus? Coba belajar terima kenyataan kalau bunda sudah lama pergi."

Ucapan ayah boleh kedengaran biasa, tapi sanggup meledakkan kumpulan emosi yang telah lama Biru pendam-pendam.

Amarah yang ia luapkan berhasil mengacaukan sesi makan malam. Dia pergi dari rumah membawa ribuan sesak, dan sekarang menyusuri jalanan tanpa tahu mau ke mana. Keadaan kian dramatis lantaran rintik hujan tiba-tiba turun, bersamaan sudut matanya yang tidak berhenti berair.

Ini... terlampau menyebalkan.

Ayah tidak pernah ada saat Biru butuhkan. Tidak pernah tahu keadaannya, tidak pernah hadir tiap kali dia merindukan bunda, bahkan tidak memberi sedikit pun perhatian. Setelah kepergian bunda, Biru hanya ingin kehadiran ayah karena takut sendirian. Namun, ayah seakan melupakannya.

Pria itu tidak tahu dan tidak pernah mencoba cari tahu perasaan Biru. Lantas setelah tahun-tahun berlalu, beliau dengan gampangnya datang tanpa merasa bersalah, menutut Biru harus menerima kenyataan bahwa ada sosok wanita yang sudah menggantikan posisi bunda. Ada pula sosok yang menjadi saudara tirinya, yang harus dia terima sebagai keluarga.

Biru tidak membenci ayah. Namun, setelah semua yang terjadi, dia tidak punya alasan untuk tetap menyayangi pria itu.

Terlalu lama bertarung dengan pikiran seraya mengelilingi daerah ibukota tanpa tujuan yang jelas, akhirnya membawa Biru berhenti tepat di depan sebuah rumah megah, yang hampir tidak pernah menjadi persinggahannya kala dirundung kalut.

Alhasil, lebih dari sepuluh menit Biru termenung sambil menatap lurus pintu utama. Cukup lama dia mengumpulkan keberanian, barulah sanggup menelepon sang empunya rumah.

Blue Moon ✔️Where stories live. Discover now