• t h r e e •

188 31 77
                                    

______________________

Adegan ala-ala sinema romansa remaja yang sarat akan keuwuan ini mungkin akan terus berlanjut tak peduli waktu, andai kata cacing-cacing dalam perut Biru mau diajak kerja sama, bukannya malah caper dengan berbunyi keras macam belum dikasi makan satu minggu full, bikin Monita spontan tertawa keras lalu pelukan pun terpaksa lepas.

Saking tak kuasa menahan malu sekaligus ingin menghindari situasi canggung yang pasti tercipta, Biru buru-buru pamit pulang.

Tapi oh tapi, bukan Monita namanya kalau langsung membebaskan dia begitu saja, tanpa lewati sesi interogasi.

"Nggak usah, Moon. Gue nggak selapar itu kok!" Biru berupaya meyakinkan, demi terlepas dari ribuan tanya yang akan cewek itu layangkan.

"Nggak papaaaa. Bakmi yang Kak Dara beli masih ada, lo harus makan sebelum pulang." Monita tidak kalah ngotot, kali ini sambil menarik paksa tangan Biru. "Hayuk! Kasian cacing dalam perut lo udah meraung tuh!"

Dia menggeleng tegas. "Jangan dipeduliin, mereka emang suka caper."

"Mereka caper karna nggak dikasi makan. Udah deh, kaga usah sok nolak. Biasanya juga lo garda paling depan."

"Moon, gue beneran masih kenyang."

Ini seratus persen bohong, tapi Biru tidak punya pilihan.

"Kenyang makan apa? Angin?" Cewek itu tetap tidak percaya.

"Gue baru dari rumah Aiden sebelom mampir ke sini. Bener deh!"

"Minimal kalau mau tipu tuh riset dulu. Dikira gue nggak tau si Aiden pagi-pagi butah dah cao Singapur?"

"Lah, ngapain dia ke sana?" tanya Biru refleks.

"Meneketehe. Ikut arisan batu bara kali."

"Emang ada arisan begituan?"

Monita berdecak. "Arisan berlian aja ada, dah pasti logam muliaeit, stop! Jangan mancing gue buat bahas topik lain. Buruan masuk!"

"Yaelah, Mon. Suer gue nggak laper..." Ucapan Biru lekas terhenti, lantaran tatap yang Monita berikan sudah berubah tajam nan penuh ancaman.

Ibarat sekali lagi dia menolak, maka pot bunga depan teras siap melayang di kepala.

"Masuk.dan.makan." Cewek itu berkata penuh penekanan.

Kalau sudah begini... mau bagaimana lagi?

Biru belum ingin merasakan sensasi dihantam pakai pot bunga, jadilah sekarang dia (dengan sangat terpaksa) masuk dan duduk manis di ruang khusus tempat biasa mereka nongkrong, sementara Monita masih singgah dapur dulu buat ambil bakmi.

Untuk sejenak Biru tarik napas dalam-dalam, lalu merebahkan kepala pada sandaran sofa sambil mulai menerka pertanyaan apa saja yang akan Monita layangkan dan bagaimana caranya berdalih.

Terus terang, hal sesederhana menceritakan perasaan kepada orang lain, justru yang paling sulit dia lakukan.

Bukan tanpa alasan. Dari dulu, Biru terbiasa menanggung sedih sendirian dan tidak pernah membagi duka dengan siapa-siapa. Bukan berarti dia tidak percaya kepada teman-temannya atau meragukan persahabatan mereka. Hanya saja, terlalu sering memendam sedih seorang diri, bikin dia tidak punya keberanian untuk bercerita panjang.

Biru takut reaksi yang didapat jauh dari yang diharapkan. Lebih takut lagi bila sisi buruk yang ia tunjukkan, malah membuat mereka jauh lalu pergi.

Alasan lainnya, Monita dan teman lain adalah 'hal indah dan menyenangkan' dalam dunia Biru yang menyebalkan. Mencampur hal itu dengan masalah yang kelabu, hanya akan merusak sisi cerah yang dia miliki.

Blue Moon ✔️Where stories live. Discover now