1. Alien

73 6 4
                                    

"Dasar Alien tak tahu diri! Berani-beraninya lu kirim surat cinta buat Yudi pacar gue???"

Kedua tangan Gania menggenggam erat dua sisi kerah seragam putih Alin, gadis yang dipanggil dengan sebutan 'alien' oleh seluruh siswa seantero sekolah.

Gania dan kawan-kawan satu komplotannya sengaja menarik Alin menuju sebuah gang sepi. Ia tak memedulikan tubuh Alin yang jauh lebih besar dibanding dirinya. Namun, kekuatan yang entah datang dari mana, dengan mudah menarik Alin yang tidak berkutik duluan.

Gania sangat marah setelah mendapat kabar bahwa Alin, gadis paling gendut di sekolah mereka, baru saja mengirim surat cinta kepada Yudi, siswa laki-laki yang diketahui paling tampan di antara siswa pria lainnya.

"A-aku tidak tahu Gan. Bu-bukan aku yang melakukannya!" Wajah Alin jelas menggambarkan rasa takut yang hebat pada gadis-gadis yang melipatkan kedua lengan seragam hingga ke atas itu.

Hari ini, Alin merasakan kesialan yang sungguh luar biasa. Setelah dimaki oleh Yudi perihal surat cinta yang dituduhkan datang darinya, kali ini giliran Gania-gadis yang digadang-gadang sebagai kepala genk anak nakal perempuan-yang menyerangnya.

"Lu pikir gue bodoh? Jelas-jelas dalam surat itu tertulis atas nama lu sebagai pengirim, masih saja mengelak?" Kepalan Gania pun melayang mendarat di perut gempal yang tertutup oleh seragam putih yang sedikit menguning itu.

Suara dentuman berat beberapa kali terdengar akibat pukulan yang diberikan Gania berkali-kali pada perut Alin.

"Agghhh, sakit Gan," ringis Alin meneteskan air mata.

Tanpa mengubris rengekan gadis gempal itu, kali ini tangan Gania bergerak cepat menarik rambut ikal milik Alin. Dengan kuat ia menarik rambut gadis malang itu ke arah belakang sehingga membuat dagu yang tadinya tidak terlihat, menjadi terbuka karena wajah Alin tengah tengadah menatap langit, tetapi wajahnya mengernyit menggambarkan rasa sakit yang tak bisa diungkapkan.

"Masih berani bohongi gue, lu ya? Jelas-jelas Yudi itu akan menjadi pacar gue! Kenapa berani-beraninya lu kirim surat cinta pada dia!?" Sekarang, kaki kecil yang tampak terbiasa melakukan tendangan yang keras, kini bergerak menarik pergelangan Alin dari belakang.

Semua kawan Gania yang menjadi penonton, mengernyitkan wajah mengiringi suara ambruknya tubuh gadis gemuk nan malang itu. Ternyata tak cukup sampai di situ, Gania masih belum puas dengan apa yang baru saja dilakukannya. Kini, ia duduk di atas punggung Alin yang tengkurap, tak memedulikan hidung Alin yang telah mengucurkan cairan segar bewarna merah.

"Berani merebut Yudi dari gue?" Gania mengaitkan lengannya pada leher Alin.

"Bukan aku, Gan ... sungguh. Aku tidak menyukai Yudi. Aku tidak menyukai siapa pun di sekolah kita. Hentikan Gan," ringis Alin tercekik tak bisa membalas.

"Gan, sakit, Gaaan. Ammpuun ... Lepaskan aku, Gaaan!" Alin setengah meregang nyawa menjadi bulan-bulanan Gania.

Sementara itu, kawan-kawan Gania tersenyum puas melihat tontonan atas penyiksaan gadis yang dianggap tak tahu diri ini. Mereka semua saling berbisik dan terkikik menikmati kesakitan yang dirasakan Alin.

"Woooii! Dasar anak-anak nakal! Apa yang kalian lakukan?"

Teriakan dari seorang pria, dengan begitu saja membuat Gania melepaskan leher Alin yang sudah merah padam. Sementara itu, Alin meraup udara dengan sepuasnya setelah merasakan apa yang disebut dengan sakaratul maut.

Sementara itu, kawan-kawan Gania saling colek melirik ke arah suara.

"Waduuh, gawat ini?" bisik salah satu dari mereka.

Satu di antaranya berjalan mendekati Gania yang masih duduk di atas tubuh Alin tadi. Ia membisikkan sesuatu membuat Gania refleks berdiri dan berlari begitu saja tanpa melirik ke arah belakang. Kawan-kawan yang menjadi pengawal ikut lari mengikuti arah Gania pergi.

Di sisi lain, pria yang tadinya berteriak berlari membawa beberapa benda, menuju gadis yang baru saja dirundung oleh gadis sekolah yang lain. Dengan cepat, ia membantu gadis berseragam putih dongker itu bangun.

"Huhuhu, sakiiit," tangisnya.

Pria itu terdiam menatap gadis yang masih belia ini, tetapi membiarkannya menangis hingga reda dengan sendirinya. Tak ada tanda bahwa dia akan menenangkan Alin. Dia hanya diam menunggu tak jauh dari sisinya.

Setelah beberapa waktu, di saat tangisan Alin reda, ia mulai memperhatikan pria yang membuat Gania cs lari terbirit-birit. Ia melirik pria itu dan jelas bisa dilihat pria ini jauh lebih dewasa dari pada dirinya.

"Makasi, Om," ucapnya mengusap cairan yang keluar dari hidungnya dengan lengan seragam bewarna putih.

Namun, pria itu menepis tangan Alin. "Kenapa kau bodoh sekali, Nona Besar?"

Alin terperenjat mendapat umpatan dari pria yang baru saja dianggapnya sebagai dewa penolong.

"A-apa maksud, Om? Kenapa Alin dibilang bodoh?"

Namun, kali ini pria itu tak menjawab. Dia hanya menoyor kening Alin ke arah belakang. Dia bangkit dan menepukkan kedua tangan berharap debu yang tadi menempel pergi dari kedua tangannya.

"Maaf sudah merepotkan, Om." Kali ini, tubuh berat itu mencoba bangkit menyejajarkan diri dengan pria itu.

Saat ia telah berhasil berdiri tegak, mulutnya membulat karena kagum mendapati dirinya hanya setinggi dada pria dewasa yang ada di hadapannya ini. Pria itu menggunakan baju orange, memegang sapu lidi dan pengki. Dalam lengannya, tampak karung lusuh menggantung di sana.

"Om kereen bangeet?" Mulut Alin spontan tanpa sadar mengeluarkan celetukan itu melihat rupanya yang tak singkron dengan penampilan.

Pria yang tadinya berdiri dengan posisi kedua tangan di pinggang, terlihat kesal mendengar ucapan gadis tadi.

"Heh, gadis besar. Sejak kapan saya menjadi suami tantemu? Om ... Om, saya ini masih muda, tau!"

Alin terperenjat mendengar tuturan yang bernada tinggi itu baru saja melewati gendang telinganya. Meski sejenak terkejut, tetapi kekagumannya terhadap pria dewasa itu, lebih mendominasi merajai hatinya. Lagi pula, mentalnya telah terlatih mendengar kata-kata buruk yang diberikan siapa saja pada dirinya.

"Malah bengong? Kenapa kau tak melawan? Percuma dong, punya badan segede gajah tapi takut sama gadis-gadis kecil sebesar kutu itu! Harusnya kamu sleding dikit aja, mereka pasti langsung habis." Wajah tegang pria itu perlahan mulai tampak kendur menggambarkan amarah yang tadinya memuncak, kini mulai hilang.

Alin tersenyum dan mendekati pria dewasa itu. Ia memasang senyuman termanis yang dimiliki, sehingga kedua matanya hanya sebatas garis didominasi oleh pipi tembem yang memenuhi wajah Alin.

"Kenapa senyam-senyum?" bentaknya. Tak lama kemudian, ia membawa peralatan yang sedari tadi ada di tangannya. "Sekarang pulang lah! Orang tuamu pasti menunggu dengan khawatir."

"Apa aku boleh ikut dengan Om? Aku gak punya orang tua." Namun, wajah Alin masih terlihat ceria dengan senyuman yang persis seperti tadi.

Sang dewa penolong kembali menatap Alin dengan seksama. Ia menatap Alin dari atas hingga bawa beberapa kali. "Kau pikir saya percaya? Ada anak kelebihan gizi sepertimu tak memiliki orang tua?"

Mengejar Cinta Duda Kere(N)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang