Prolog

106 10 0
                                    


"KENAPA KAU KE SINI LAGI?"

Sebuah teriakan dari suara bariton pria paruh baya menggelegar memenuhi sebuah mansion yang begitu megah.

Di hadapannya tampak pria yang jauh lebih muda menundukan kepala menautkan kedua tangannya. Di sisi lain, di beranda rumah yang teramat luas itu, terlihat wanita paruh baya yang tampak masih cantik, menangis menatap dua pria berharganya yang masih bersiteru semenjak satu tahun lalu.

"KENAPA KAU DIAM DI SANA? PERGI! TINGGALKAN RUMAH INI! KAU TAK LAGI MEMILIKI HAK BERADA DI RUMAH INI!"

Ritme napas pria yang sudah hampir enam puluh tahun itu bergulir cepat keluar masuk rongga hidung, tetapi tak sempat mencapai diafragma karena Respati, kembali menarik napasnya dengan cepat.

"Pa, aku mohon. Bagaimana pun juga, aku ini adalah anak laki-laki satu-satunya di rumah ini. Apa Papa tidak kasihan, calon cucu Papa hidup terluntang lantung di luar sana? Paling tidak, Papa beri aku pekerjaan yang dulu pernah aku pegang sebagai general manager (GM) di perusahaan Papa. Aku butuh uang, Pa. Anakku, cucu Papa, akan lahir."

Respati terlihat semakin naik pitam. Suara hembusan napas berat dari pria menjelang lansia itu membuat Anggara kembali tertunduk dan ciut.

"Pa, jangan begitu. Kasihan dia, Pa ...."

Gendis, ibu dari pria muda yang bernama Argantara itu, mencoba menengahi perdebatan anak dan suaminya.

"Sudah, kamu jangan membela dia! Bahkan, dia tidak memilihmu meskipun kamu yang melahirkannya. Dia lebih memilih wanita itu dibanding kita orang tuanya! Biar kan dia!" Respati berjalan mendekati Gendis, istrinya, yang telah menangis semenjak tadi.

Respati menarik istrinya memasuki pintu rumah yang teramat luas - sesuai dengan postur rumah itu, meninggalkan Gara - panggilan Argantara - satu-satunya putra - dari tiga anak yang lahir dari rahim Gendis.

"Pa, tunggu!" Suara Gara masih terdengar pelan nyaris tak terdengar.

"Pa, aku mohon dengarkan aku!" Suara Gara semakin tinggi, tetapi Respati nyata tak menggubris pria 35 tahun itu.

"Pa, aku menikah kan karena permintaan Papa!"

braaak

Pintu ditutup dari dalam menyisakan suasana hening kala Gara sendirian di teras rumah besar itu.

"Pa, aku ini satu-satunya anak laki-laki Papa! Ratih sedang mengandung anakku, cucu Papa!" Gara berdiri tepat di depan pintu. Ia berharap sang tuan besar, luluh karena ratapannya yang telah jatuh miskin semenjak menikahi Ratih tanpa persetujuan Respati Wijayaningrat.

Mengejar Cinta Duda Kere(N)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang