Arky tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa memeluk dan menguatkan Geo dengan kata-kata penenang darinya. Ia tak bisa melakukan apapun selain itu.

"Lo jangan nangis lagi. Gue, Faro, Deon dan Gian akan selalu ada buat lo Ge.."

"Setelah ini, kita kasih tau Faro. Jangan biarin dia jadi orang bodoh untuk kedua kalinya. Lo nggak mau kan dia sedih?" Geo menggelengkan kepalanya.

"Lo punya kita. Jangan ngerasa sendiri Ge. Kita bakalan nemenin lo buat jalanin semua ini." ucap Arky lembut.

Geo menangis semakin keras. Kali ini, suara tangisan anak itu terdenger begitu pilu. Geo bahagia dengan kenyataan bahwa dia tidak lagi sendiri. Namun, Geo juga sedih di saat yang bersamaan sebab kenyataan yang menyatakan jika hidupnya bisa saja berakhir di saat yang tak terduga.

Bisa besok, lusa, atau mungkin beberapa jam lagi.


🐾🐾🐾🐾



Disisi lain sebuah keluarga tengah mengadakan pesta megah dan besar-besaran.

Banyak orang di pesta itu memakai pakaian yang mewah dan bagus, terlihat sekali jika pesta tersebut adalah pestanya orang berada.

"Je, sini sayang sama Opa!" panggil Opa  pada Zeo yang tadi tengah bercengkrama dengan saudara-saudaranya.

Hari ini adalah hari ulang tahun Tino yang ke 70 tahun. Banyak sekali kolega bisnis dan juga saudara yang hadir disini. Bahkan, Hendri dan Nitya sampai menyempatkan pulang hanya untuk merayakan hari jadi ayah dan mertua mereka.

"Ada apa Opa?" tanya Zeo begitu telah sampai di hadapan Opa nya.

Tino yang tadi tengah bersama dengan salah satu kolega bisnisnya langsung mengenalkan Zeo sebagai cucu kebanggaannya.

"Wah, nak Zeo ini sepertinya sangat cocok untuk memimpin perusahaan raksasa tuan Tino." komentar orang tersebut.

"Jelas. Saya sudah mengatas namakan seluruh aset saya dengan nama Zeo. Cucu saya ini kelak akan mewarisi semua kekayaan saya." jelas Tino.

Zeo tersenyum canggung. Ia memang tahu jika dirinya telah di tunjuk sejak lama untuk kekayaan ini. Namun entah mengapa rasanya selalu saja sesak. Ia tak lupa jika dia masih punya setengah jiwa lagi, dan setengah jiwanya itu jelas-jelas tak mendapatkan apapun yang ia punya.

Apakah ini adil?

"Tapi tuan, saya pernah dengar jika pak Hendri punya dua putra kembar. Kenapa sekarang hanya satu yang hadir? Bahkan, sejak lama saya memang tidak pernah melihat putra pak Hendri yang lain." tanya orang itu penasaran.

Tino tersenyum tipis menanggapi pertanyaan itu.

"Kejadiannya sudah lama, tapi cucu saya yang satu lagi sudah meninggal dunia. Tepatnya, saat kecelakaan besar yang menimpa keluarga anak saya waktu itu." Zeo langsung menatap kakeknya.

"Opa.." gumamnya.

"Awalnya cucu saya sempat koma di rumah sakit, hanya saja dia meninggal di tahun yang selanjutnya. Jadi, Zeo saat ini hanya satu-satunya yang saya punya." jelasnya dengan rinci, seolah kebohongan yang saat ini ia lakukan adalah sebuah kenyataan.

"Turut berduka cita tuan. Saya tidak mengira ternyata berita seperti ini ada di keluarga anda." ucapnya.

"Terima kasih. Saya memang sengaja menyembunyikan ini dari publik saat itu. Saya tidak ingin duka keluarga kami tersorot." Tino benar-benar jago dalam berdusta.

Zeo yang mendengar itu terdiam beberapa saat. Hatinya mendadak sakit begitu mendengar bagaimana kakeknya mengucapkan jika Geo telah meninggal. Ia tak suka jika sang kakek berkata begitu, walaupun dirinya juga sering kali berlaku jahat, Geo tetaplah orang hidup yang harus di perlakukan seperti orang hidup. Bukan malah di katakan sudah meninggal seperti ini.

Tangan Zeo mengepal, dia benar-benar merasa terganggu dengan ucapan kakeknya.

"Opa, aku mau ke kamar dulu. Ada barang yang tertinggal." ucap Zeo.

Sang kakek awalnya menyerengit, namun kemudian pria tua itu mengangguk dan membiarkan cucu kesayangannya pergi.


🐾🐾🐾🐾



"Son, Appa dengar hari ini adalah ulang tahun tuan Tino Baguswara. Apakah Geo pergi kesana?" tanya Bram ketika dirinya melihat anaknya serta teman-temannya sedang rebahan di kamar.

"Gege ada urusan sih, tapi kata Arky mereka cuma mau ke mall." jelas Faro.

Bram mengangguk-anggukkan kepalanya, ternyata Geo tidak dianggap di keluarganya sendiri.

"Kenapa lo nanyain Gege? Tumben banget?" Faro bertanya heran.

"Ya enggak. Appa dapet undangan aja dari Baguswara, makanya Appa inget sama anak imut. Kirain dia ikut." Bram memperlihatkan sebuah undangan di tangannya.

Melihat itu Faro jadi kesal sendiri. Bisa-bisanya di acara keluarga tak ada yang mengajak atau mempedulikan Geo. Padahal, harusnya yang namanya acara keluarga itu diadakan bersama keluarga tanpa terkecuali.

"Bisa-bisanya nggak diajak anak gue.." celetuk Deon saat melihat postingan terbaru Zeo di acara itu.

Gian ikut nimbrung melihat postingan foto keluarga bahagia tanpa Geo. Anak itu mengepalkan tangannya ikut kesal.

"Tega bener si sama Gege. Padahal sama-sama cucu.." keluh Gian.

Faro mengepalkan tangannya kesal. Tatapan tajamnya ia layangkan pada sang ayah yang masih melongo di pintu kamarnya. Persis seperti orang yang tengah mengintip.

"Lo nggak bisa ngapa-ngapain gitu buat tuh keluarga? Kesel tau nggak mereka tega gitu sama Gege!" ucap Faro.

"My Son maunya gimana? Appa mah nurut katanya kamu aja." senyum aneh Bram mengembang. Faro yang melihatnya bergidik, kenapa pula orang aneh ini malah jadi ayahnya?

"Bisa nggak lo hancurin mereka? Atau nggak ambil Gege dari mereka aja, kasian dia kalo disana terus." pinta Faro.   Bram terlihat berpikir sejenak sebelum kemudia menganggukkan kepalanya.

"Bisa aja sih, tapi imbalannya apa nih?"

Faro berpikir sejenak. Berurusan dengan orang tua ini benar-benar menguras energi. Bisa-bisanya si Duda tua itu minta imbalan.

"Lo maunya apa emang?"

"Hem, gimana kalo ganti panggilan lo-gue jadi Appa sama Faro?" tanya Bram dengan senyum smirknya.

"Yang lain bisa nggak? Jijik tau panggilan kayak gitu!" protes Faro tak terima.

"Ya kan Appa maunya itu. Gimana? Mau nggak? Sebelum Appa berubah pikiran nih!"

Deon dan Gian sudah terkikik puas dengan drama dua orang di depan mereka, sementara itu Faro malah merenggut kesal. Namun, ia tak punya pilihan lain. Walau bagaimanapun kekuasaan ayahnya itu lumayan bagus untuk dimanfaatkan.

"Ck, yaudah deh. Syarat gue terima!" putus Faro.

"Bener nih? Coba bilang Appa sekarang!"

Faro terlihat ragu, anak itu menunduk dan mengucapkan satu panggilan yang sudah lama ingin sekali Bram dengar.

"Appa.."

Bram terlihat bahagia mendengar panggilan itu. Tanpa menjawab, pria itu pun pergi meninggalkan kamar anaknya yang saat ini dalam keadaan malu luar biasa.


🐾🐾🐾🐾

𝐊𝐚𝐩𝐚𝐧-𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐲𝐚!!

𝐒𝐞𝐞 𝐲𝐨𝐮 𝐭𝐨 𝐧𝐞𝐱𝐭 𝐂𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫!!



Semoga aja kalian pada suka.
Jangan lupa tinggalkan jejak.

Ditunggu voted sama commentnyaa..
🐾🐾🐾🐾




WE ARE TWINS! (End) Where stories live. Discover now