❀ 09 - Dekapan Pertama untuk Xenna

Start from the beginning
                                    

"Berani sekali kamu mengabaikan dia."

Vokal berat Janu membuat Xenna sekonyong-konyong menoleh terkejut, terlebih lagi karena kalimat yang terucap dari mulut lelaki itu. "Kan Mas Janu sendiri yang nggak ngebolehin aku main sama anak-anaknya Mas Janu ...."

Tidak ada perubahan eskpresi yang berarti dalam wajah Janu. Tetap saja datar, tanpa emosi. "Saya bisa apa, kalau memang dia sudah segitunya nyaman sama kamu," Janu membalas, dan kalau Xenna tidak salah menangkap, ada secuil nada kecemburuan dalam suaranya. Juga pasrah, seolah lelaki yang berbeda lima tahun dengan Xenna itu ialah wujud dari seorang ayah yang tidak bisa berbuat apa pun selain mengikuti kemauan sang anak.

Sontak Xenna pun tertegun. Pertahan yang semula ia buat langsung hilang, membuat Cimol segera mendapatkan akses bebas untuk mendekati dirinya. Kucing putih itu bahkan sudah naik ke paha, dan Xenna pun secara otomatis meluruskan kaki. Suara dengkuran khas lantas terdengar sementara Cimol sibuk mencari posisi ternyamannya untuk tidur. Ia berpaling sejenak untuk memerhatikan Cimol sebelum kembali lagi pada Janu yang masih betah menatapnya lurus-lurus.

Dan, debaran itu pun muncul kembali tanpa bisa Xenna cegah. Ini betulan gawat, pikir Xenna. Ia rasa dirinya akan makin gila jika terus seperti ini. Untuk saat ini, gadis itu tak punya pilihan selain melarikan diri. Maka dari itu, ia pun menaruh buku di atas karpet lalu pelan-pelan mengangkat tubuh Cimol, menyerahkannya pada Janu.

"Maaf, Mas, aku mau pulang, udah sore soalnya," ujar Xenna dengan cepat membuat sedikit bingung mulai menghampiri wajah Janu, tetapi lelaki itu hanya mengambil alih Cimol dalam diam sebelum ia letakkan dengan hati-hati di sebelahnya.

Xenna segera membereskan barang-barang yang ia bawa, lantas bangkit dan berkata, "Aku pulang ya, Mas, titip salam sama mami kalau udah pulang. Maaf juga tadi aku sempet ketiduran di sini." Xenna tersenyum begitu kaku sebelum ia beranjak pergi tanpa menunggu respons dari Janu. Lelaki itu mungkin akan menganggapnya aneh, tetapi Xenna tidak peduli. Ia hanya ingin menyelamatkam diri dari suatu hal yang mustahil terjadi.

Kini gadis berambut lurus sepinggang itu sudah sampai di pekarangan rumah Janu. Ia dengan cepat memakai sandal miliknya dan mengambil langkah menuju pagar. Namun, ketika Xenna membukannya dan hendak keluar, di saat itu juga ia sekonyong-konyong berhenti saat indra penglihatannya menangkap pemandangan yang tampak di depan rumahnya sendiri. Sontak Xenna buru-buru kembali menutup pagar dan berjongkok. Napasnya mendadak terasa sesak, ia pun mendekap seluruh barangnya dengan erat.

Kenapa?

Kenapa bajingan itu ada di sana?

Kenapa Arka di sana?

Kenapa Arka yang sudah berselingkuh dengan sahabat pacarnya sendiri itu datang lagi?

Xenna pikir setelah cukup lama tidak melihat sosoknya ia akan merasa biasa saja. Tapi ... kenyataannya tidaklah demikian. Jauh dari itu, sama seperti pertemuan tak terduganya dengan Gia kemarin, rasa sakit kembali hadir secepat kilat tanpa terhalang apa pun. Hatinya seolah kembali tersayat, menambah lagi luka--yang sebelumnya bahkan belum dapat ia sembuhkan secara menyeluruh. Jantungnya berdetak kencang lantaran terkejut. Untuk kembali berdiri saja rasanya gadis itu tak sanggup.

Entah akan memakan waktu berapa lama bagi Xenna tetap bertahan dalam posisi tersebut. Xenna belum juga mendengar suara mesin motor Arka yang pergi menjauh. Jika bisa, Xenna pun ingin cepat-cepat pergi sebelum--

--oh ... terlambat.

Suara pintu yang terbuka dari arah belakang segera menyapa rungu Xenna, yang tak lama disusul oleh suara langkah yang makin mendekat. Xenna bahkan tidak berkeinginan untuk menoleh.

Janu tergeming selama beberapa detik saat mendapati Xenna yang berjongkok sambil tertunduk di dekat pagar. Ia tak menyangka akan menemukan pemandangan ini sebab tujuannya keluar hanyalah ingin pergi ke minimarket yang berada dalam komplek tempatnya tinggal. Rasa ingin tahu pun segera muncul, membuat Janu kembali melanjutkan langkah menghampiri gadis itu, lalu turut berjongkok di hadapannya.

Memories in the MakingWhere stories live. Discover now