21. Surat dari Konstantine

Start from the beginning
                                    

Seperti yang kutulis tadi, ini surat terakhirku untukmu. Tak akan ada versi lengkap cerita tentang Nuriye, Said Nursi, atau penaklukan Konstantinopel lewat surat. Tak akan ada, Illiya.

Sampai jumpa lagi … dalam versi yang berbeda.

Salam,
Jeruji Gahari.

“Ini surat terakhir. Aku salah membaca urutannya.” Sra beralih pada amplop yang lain, membukanya.

Illiya Naira,

Kali ini aku membawa kisah Nuriye, perempuan luar biasa berdarah Kurdi dari Desa Balkan di Tanah Kurdistan. Beliau adalah ibu dari Said Nursi, seorang mutakallim yang dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam di Turki. Illiya, dari Nuriye yang selalu menjaga wudunya, menyembunyikan aurat hingga ke muka, yang selalu menghabiskan malam guna bermunajat, yang selalu tenggelam dalam hafalan Qur’an hingga subuh menjelang, lahir tujuh anak luar biasa pula.

Illiya, bersama Mirza suaminya, Nuriye mendidik anak-anak mereka dalam ketaatan yang teguh di jalan Allah SWT. Hingga Said, salah satunya, menjadi seorang ulama besar di seantero Turki. Badiuzzaman Said Nursi.

Aku sangat mengagumi beliau, Illiya. Kuharap, kamu juga.

Sudah dulu, ya. Nanti kuceritakan lebih lanjut tentang beliau di lain kesempatan. Wassalamu’alaikum.

Salam,
Jeruji Gahari.

Sra tak tahu harus merespons seperti apa. Yang jelas, ini luar biasa. Bagaimana mungkin mamanya tak jatuh cinta dengan papa mereka? Sra saja sampai senyum-senyum sendiri membaca surat-surat itu.

Melihat ada secarik kertas lebih kecil, Sra kembali mengambilnya. Tulisan tangan yang ada di sana berbeda dari surat-surat sebelumnya. Sra tahu ini tulisan mamanya sendiri meski ada sedikit perubahan.

Kuanggap ucapanmu waktu itu sebagai surat selanjutnya.

“Tanganmu tak perlu putus seperti Ja’far bin Abi Thalib. Kamu tidak harus menggigit panji Islam agar tetap berkibar dengan gigi-gigimu. Cukup Abu Ayyub al-Anshari dan para sahabat terdahulu yang syahid karena penaklukan Konstantinopel. Berjuanglah sebagaimana Nuriye mendidik anak-anaknya, Nona,” katamu malam itu, Jeruji Gahari.

Illiya Naira.

“Ngapain kamu? Fokus banget kayaknya.”

Sra langsung menoleh ke arah pintu, menemukan sosok Rui di sana. “Baca surat-surat Papa buat Mama.”

Ikut penasaran, Rui mendekat dan meraih salah satu kertas, membacanya. “Oh, ini yang waktu awal-awal Mama kenal sama Papa, kan?”

Sra mengangguk.
“Ntar kalau aku deketin cewek, mau pakai cara kayak Papa, ah. Keren kayaknya, misterius ala-ala penggemar rahasia gitu.”

Sra menyambar cepat, “Nggak pantes kalau kamu yang kayak gitu. Kenalan cewek kamu di mana-mana, suka tebar-tebar pesona.”

Setelah meletakkan surat itu kembali ke tempatnya, Rui kembali angkat bicara. “Loh, jangan salah, gini-gini sikapku bakal beda ke orang yang beneran aku suka.”

Sra hanya berakhir memutar bola mata malas.

-o0o-

“Pantas Lakara Jeruji Gahari Tante Illiya banyak menyinggung tentang Turki, ternyata isi surat-surat Om Haidar memang sedikit banyak tentang peradaban Islam di Turki.” Kandi menatap Sra lekat, di pangkuannya masih terdapat kotak berisi surat-surat yang baru saja dibacanya.

Sengaja memilih duduk di tribun lapangan outdoor, di bawah pohon akasia yang rimbun, Sra dan Kandi bertemu sesaat setelah belpulang berbunyi. Sambil menunggui Rui yang lagi-lagi latihan basket katanya. Kandi sudah meminta izin untuk pulang lebih telat dari biasanya saat mendapati pesan Sra bahwa hari ini surat-surat itu akan dibawa. Sebuah keberuntungan.

EbulisiWhere stories live. Discover now