20. Bagus, Begitu?

41 10 7
                                    

“Kak Kandi kok bisa pindah ke sini, sih?” Pari ikut mendudukkan diri di bangku kosong sebelah Kandi, meletakkan sepiring siomay yang baru dipesan. 

Di seberang keduanya, Sra dan Rui duduk, sedang Kla duduk di sisi meja yang lain.

Setelah menelan bakso yang dikunyahnya, Kandi menjawab, “Aku yang mohon-mohon ke Ayah. Aku beneran nggak betah di sana. Satu setengah tahun di sana aja aku kesusahan adaptasi, nggak punya temen.”

“Kamu terlalu asik baca novel. Orang yang mau temenan sama kamu juga pasti segan karena kalau udah baca, kamu itu fokus banget,” balas Sra.

Rui mengangguk menyetujui  ucapan saudaranya. “Mode senggol bacok pokonya.”

Kandi meringis, mau tak mau membenarkan pendapat Sra da Rui. Habis bagaimana lagi, saat membaca, ia seakan diajak berpetualang ke belahan bumi lain, melintasi dimensi, bahkan menjajaki banyak emosi yang mungkin belum pernah dirasakannya dalam hidup. Orang yang melihat mereka yang tengah membaca buku mungkin hanya akan berpikir bahwa seorang pecandu buku cuma anak introvert, culun, dan terkesan pintar. Padahal, tidak begitu. Mereka yang suka membaca, rata-rata menemukan rumah dalam buku, mendapati banyak hal yang mau diusahakan bagaimana pun tak akan didapatkan di dunia nyata. Bukan melarikan diri, hanya membahagiakan diri sendiri. Bukankah kebahagiaan tak bisa digantungkan pada orang lain? Kandi percaya itu.

“Memang kamu mau diganggu orang lain kalau sedang ngelakuin hobi kamu?” tanya Kandi. Tatapan matanya terarah lurus pada Rui, lalu beralih pada Sra.

Tangan Rui terangkat, menggaruk tengkuk. “Nggak, sih.”

“Nah, kan.” Kandi beralih pada Pari, melanjutkan penjelasannya yang memang belum usai. “Sebenarnya rencana aku pindah sekalian waktu sudah kenaikan kelas nanti, tapi aku takut nggak kekejar launching buku barunya Tante Illiya. Jadi, ya sudah.”

Kla memicingkan mata. “Kamu sesuka itu ya, sama karya-karyanya Mama?”

Anggukan bersemangat diberikan Kandi sebagai respons. Mata gadis berambut keriting itu langsung berbinar penuh. “Aku nggak sabar buat baca karya selanjutnya. Apalagi sudah ada kutipan-kutipan yang diposting di akun penerbitnya buat tes ombak dan itu keren banget menurut aku. Makanya aku nggak sabar.”

Satu hal yang membuat Kla dan Sra agaknya bisa berteman dengan perempuan itu, ia tulus menyukai karya-karya sang mama. Bukan yang sekadar suka membaca, tetapi sampai paham apa isinya, hafal tiap adegannya, bahkan sampai betul-betul mengamalkan hal baik yang ia dapat dari dalam buku. Implementasi yang cukup langka dilakukan oleh pembaca. Kalau Rui tidak usah ditanya, dia kan memang gampang akrab dengan siapa pun.

“Spoiler dikit, dong. Kalian bertiga pasti udah baca naskah Tante Illiya duluan, kan?” Kandi mendorong mangkuk baksonya yang sudah kosong agak ke tengah. Bertopang dagu dan memandang ketiganya penuh harap.

“Nggak surprise, dong, nanti,” sambar Kla.

“Bener, tuh,” imbuh Pari.

Seketika Kandi menoleh ke arah Pari. “Memang kamu udah baca juga?”

Pari mengangguk, tampak ragu untuk sejenak, lalu menggeleng. Ibu jari dan telunjuk para membentuk simbol sedikit tepat di depan muka. “Cuma segini.”

“Halo, boleh gabung, nggak?” Tiba-tiba, Widuri sudah berdiri di samping meja kelimanya sambil menyunggingkan senyum lebar.

“Hoi, Wid,” sapa Rui, lalu melirik sekilas ke arah Kla sebelum melanjutkan, “Duduk aja. Lebih ramai, lebih bagus.”

Binar senang tak bisa disembunyikan Widuri. Langsung saja ia mengambil tempat duduk di seberang Kla, berhadapan dengan lelaki yang kini mengembuskan napas panjang itu.

EbulisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang