21. Surat dari Konstantine

82 10 8
                                    

Illiya Naira,

Pernahkah kamu mendengar kisah penaklukan Konstantinopel? Tempat di mana bangunan megah Hagia Sophia dibangun oleh Kaisar Justinian. Tempat yang kini lebih  dikenal dengan sebutan Kota Istanbul, Turki.

Illiya, dari balik jeruji gahari, akan kuceritakan sedikit tentang itu. Kuharap, kamu bisa mengambil ibrah dari sana.

Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah gugur secara syahid dalam perang Mu’tah. Ja’far bin Abi Thalib sampai putus kedua tangannya, hingga panji Islam digigit dengan giginya agar tetap berkibar.

Belum, Illiya. Itu hanya awal peperangan dengan Bangsa Romawi. Kisah sebenarnya belum dimulai hingga Mu’awiyah menjabat sebagai khalifah.

Pengetahuanku terbatas, Illiya. Aku hanya bisa menyampaikan lewat ingatan-ingatan dangkalku dari balik jeruji gahari. Jadi, kuharap kamu tidak protes.

Banyak sahabat yang gugur dalam penaklukan Konstantinopel, baik generasi Dinasti Umayyah hingga Abbasiyyah. Salah satunya Abu Ayyub al-Anshari. Beliau dimakamkan diam-diam tepat di sisi tembok benteng Konstantinopel di wilayah Golden Horn.

Ah … aku tak ingat semuanya, Illiya. Aku hanya ingat bahwa sampai Dinasti Abbasiyyah dihancurkan oleh tentara Mongolia, Konstantinopel masih belum dapat ditaklukan.

Sampai tampuk kekuasaan beralih pada Dinasti Utsmaniyyah, Konstantinopel berhasil takluk di bawah pimpinan tokoh idolaku, Muhammad al-Fatih.

Illiya, sudah dulu. Waktuku menulis surat ini terbatas. Jika kita diizinkan bertemu nanti, akan aku ceritakan lagi. Biar aku menggali ingatanku dulu, ya? Aku janji akan belajar lagi. Tolong, jangan mencari tahu siapa aku, Illiya Naira. Aku hanya lelaki pendosa yang mengagumimu lewat cerita.

Salam,
Jeruji Gahari.

Sra tak henti mengerjap setelah membaca surat pertama. Ia baru benar-benar memperhatikan isi surat itu. Rupanya, itu memang surat-surat yang dimaksud Kandi. Setelah sibuk di gudang dan menemukannya, ia diizinkan Illiya untuk memiliki kotak tersebut beserta isinya. Ia juga diizinkan menunjukkan itu kepada Srikandi, asal dijaga dengan baik. Pasalnya, surat-surat itu memilih sejarah panjang untuk Illiya.

“Ternyata Papa juga pandai menulis seperti Mama,” gumam pemuda itu.

Tak berhenti di sana, Sra membuka dan membaca surat selanjutnya.

Illiya Naira,

Dari balik jeruji, panji-panji masih bisa berdiri tegak dan tersebar ke seluruh penjuru negeri. Lewat bungkus rokok, lewat bungkus korek api, lewat kertas bekas para sipir. Panji tetap berkobar nyata melalui Risalah Nur.

Bingung, Illiya? Maaf, aku tak sabar menyampaikannya padamu. Mungkin ini surat terakhir yang akan sampai padamu karena kita harus berpisah. Sekali lagi, maaf, ya.

Begini, Illiya. Ingat Nuriye? Aku yakin kamu ingat. Kali ini aku akan membahas tentang Said Nursi, putranya. Beliau adalah keajaiban zaman sesuai julukan yang diterimanya, Badiuzzaman.

Beliau adalah penulis kitab Risalah Nur. Kitab tersebut ditulis dari penjara ke penjara. Mulai dari penjara Eskişehir, Kastamonu, sampai penjara Denizli.

Kamu tahu, Illiya? Risalah-risalah itu ditulis secara diam-diam dan disebarkan secara diam-diam pula. Ditulis dalam bungkus rokok, kertas bekas, lantas dimasukkan ke dalam kotak korek api dan dilempar ke luar jendela penjara. Di luar, murid beliau sudah siap mengumpulkan dan menyebarkannya ke seluruh pelosok negeri.

Kasusnya hampir sama denganku. Dari balik jeruji gahari, aku bisa melihatmu, lewat cerita, lewat kata-kata. Aku lelaki pendosa, Illiya. Belum bisa dan tidak akan bisa seperti Badiuzzaman Said Nursi, yang aku bisa baru menuliskanmu kata-kata tak berarti. Semoga kamu paham.

EbulisiWhere stories live. Discover now