17. Keramaian

30 11 2
                                    

Lapangan basket indoor yang tadinya hening tiba-tiba penuh gema pantulan bola. Widuri dengan santai memasuki area lapangan sambil men-dribble bola yang memang selalu ada di pojok lapangan.

Dua kembar itu fokus ke arah lapangan, memperhatikan perempuan yang sudah berganti pakaian olahraga itu. Kla lantas menilik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, masih jam istirahat. Lantas, kenapa perempuan itu sudah siap menyambut jam olahraga?

"Hei, Wid. Rajin amat, belum bel masuk padahal." Rui mengambil atensi Widuri yang sejak awal tak menyadari keberadaan keduanya.

Gadis itu sempat terkejut sebelum membalas, "Nggak apa-apa, daripada nanti aku harus ngantre kamar mandi buat ganti kaos olahraga."

Rui terkekeh, sedang Kla cuek saja. Diletakkannya proposal Rui di samping tempat ia duduk, berniat memikirkannya di rumah nanti. Pemuda itu lantas menyandarkan punggung dengan nyaman, menatap lekat Widuri dengan bola basket yang kini di pelukan.

Menjadi anak yang terkesan tak peduli, bukan berarti Kla tak mengenal teman-teman sekelasnya. Contoh saja Widuri, Kla tahu bahwa gadis itu tak hanya cerdas dalam akademik, tetapi juga nonakademik. Widuri bisa hampir semua bidang olahraga yang ada dalam materi pembelajaran sejak kelas X. Pun menurutnya tak sekadar bisa, tetapi betul-betul menguasai dengan baik.

Rui kembali menatap Kla. "Masalah proyek lanjut di rumah, kan?"

Kla mengangguk. Mendapati itu, Rui langsung turun dari tribun penonton tanpa peduli proposalnya. Tak lewat jalan semestinya, sengaja melompati kursi-kursi yang ada.

"One on one sama aku bentar yuk, Wid?" Tak mengejutkan bila melihat track record seorang Rui yang friendly. Ia berteman dengan siapa pun termasuk dengan mereka yang bahkan tidak sekelas. Hampir semua teman angkatan mengenalnya, bahkan kakak dan adik kelas.

Senyum mengembang di bibir Widuri. "Boleh, ayo!"

Gadis itu langsung berusaha menghindari Rui begitu pemuda itu sampai di lapangan, mendribble bola, mengelabuhi lawan yang mencoba menghadang. Beberapa kali bola terlepas dari tangan Widuri, merebutnya kembali, lepas lagi, hingga Rui sukses melakukan pivot dan menembakkan bola ke ring dari daerah tiga poin.

Permainan keduanya berlangsung selama tujuh menit dan selama itu juga Rui berhasil mencetak 15 poin, sedangkan Widuri nihil. Jelas, Rui tergabung dalam tim basket sekolah.

Tepat di menit kedelapan, saat keduanya mengambil jeda dengan berkacak pinggang dan menetralkan napas yang memburu, Kla sudah berdiri di belakang Widuri. "Kamu ikut tim basket, Rui. Nggak adil kalau lawan Widuri, meskipun dia tahu teknik dasarnya."

Widuri berjengit dan mengambil langkah menjauh.

Satu ujung bibir Rui tertarik ke atas. "Jadi?"

"Gimana kalau kamu lawan aku sama Widuri? Satu lawan dua? Adil, kan aku bukan anak basket." Kla tak sepenuhnya salah, tidak benar juga. Ia sering menjadi lawan Rui bermain basket di lapangan kompleks, meski lebih sering terpaksa.

Sekali lagi Widuri berjengit. Sudah dua kali dalam seperempat hari ia dibuat terkejut oleh Kla.

"Yang menang dapat apa? Nggak seru kalau nggak ada hadiahnya," kata Rui bersamaan dengan diangkatnya sebelah alis.

"Kamu butuh bantuan aku," balas Kla tak acuh, yang sukses membuat Rui berdecak.

Meskipun Widuri tak tahu bantuan apa yang dimaksud, tetapi ia membalas juga, "Traktir baksonya Mang Uji aja, Rui, gimana?"

"Oke."

Permainan kembali dimulai, lebih sengit kali ini dengan bergabungnya Kla. Beberapa kali Kla dan Widuri saling mengoper bola, saling bekerja sama untuk mencetak poin. Untung saja Kla tetap memakai kacamata, hingga keduanya bisa Widuri bedakan dengan mudah. Mereka bisa menjadi tim yang cukup solid rupanya, mengejar ketertinggalan poin menjadi 17-15. Widuri bahkan dibuat takjub, tak menyangka Kla juga sehebat itu.

EbulisiWhere stories live. Discover now