4. Teman Sebangku

84 28 7
                                    

Anak perempuan berbando pink itu tak henti berceloteh pada Illiya juga Haidar. Sibuk menceritakan bagaimana aksi si kembar tiga sore tadi. Katanya, Sra paling keren, sedangkan Kla dan Rui tak henti dicibir. Padahal, itu juga karena membela dirinya. Dasar!

Pari duduk di samping Illiya di sofa panjang, sedangkan Haidar duduk sendiri di sofa single. Sementara itu, Rui, Sra, dan Kla kompak duduk di atas karpet. Menonton TV serial kesukaan dengan khidmat.

"Lain kali, lebih tenang jika menghadapi orang seperti itu, ya?" pinta Haidar pada tiga putranya.

"Pari dibentak," celetuk Kla, "Papa bilang, kita harus melindungi perempuan, kan?"

Haidar menggeleng beberapa kali. "Memang betul, tapi kalau bisa diselesaikan dengan baik-baik, kenapa harus dengan urat?"

"Denger, tuh!" Dalam rangkulan Illiya, Pari ikut mengompori. Omong-omong, sudah dua jam Pari berada di sana. Tandanya, di rumah Mbak Iyah juga tengah bersantai.

Decakan lolos dari bibir Kla. Dia lantas melirik Pari tajam. "Aku nggak bakal bantu kamu lagi."

Anak itu bangkit, mengubah posisi duduk jadi di samping Sra, jarak terjauh dari Pari. Setelahnya, ia bungkam. Melihat itu, Pari mengedikkan bahu tak acuh.

"Andai Qabil sama Habil bicara baik-baik, pasti Habil nggak akan dibunuh Habil ya, Ma?" Sra menoleh, mendongak agar bisa menangkap fitur wajah Illiya yang hanya tampak mata.

Pari mengerjap polos. "Siapa itu Qabil dan Habil?"

Omong-omong, Pari bukan orang Islam. Dia selalu pergi ke gereja dengan sang papa tiap hari Minggu, jika ayahnya di rumah tentu saja. Jika tidak, biasanya ia ditemani Mbak Iyah dan ditunggui sampai selesai di luar gereja. Mbak Iyah muslim. Tiap Minggu sore pun ada guru agama yang datang untuk mengajar Pari dasar-dasar kekristenan.

"Qabil dan Habil itu anaknya Nabi Adam. Manusia pertama yang orang Islam percaya," sahut Sra. Dia juga sudah ikut fokus pada Pari, bukan lagi pada televisi.

"Terus kenapa Qabil membunuh Habil? Habil berbuat salah?" Layaknya anak pada umumnya, rasa penasaran Pari sangat besar.

"Bukan, itu karena Qabil iri pada Habil yang punya istri cantik."

Pari tak langsung menjawab, ia jadi ingat perlakuan teman-teman sekelas padanya. "Jadi, teman-teman nggak suka sama aku karena aku cantik? Mereka iri. Kan kata Kla aku cantik."

Mati-matian Illiya dan Haidar menahan tawa. Kejujuran Pari bahkan sukses membuat Kla mendesis.

"Aku bilang kamu jelek!" sentak anak itu. Tangannya sudah berkacak pinggang dalam posisi duduk bersila.

"Dasar pikun!" cibir Pari, "tapi benar kan, Bibi Illiya? Berarti mereka iri sama Pari karena Pari cantik, kan?"

Surai pirang Pari dielus Illiya lembut. "Mungkin saja."

Muka Kla memerah sampai telinga. Namun, ia masih bisa diam.

"Mama, gimana sama pertanyaan Sra?"

Hampir lupa Illiya dibuat jika Sra tidak mengingatkan.

"Bisa jadi, Sra. Intinya, apa pun yang diusahakan secara damai akan lebih baik daripada dengan kekerasan. Namun terlepas dari itu, kisah Qabil dan Habil, bagaimanapun memang sudah ditakdirkan demikian oleh Allah, dikehendaki oleh-Nya agar kita dan semua orang bisa belajar dari sana."

Sra mengangguk paham, begitu juga dengan Rui dan Kla yang sejak tadi juga mendengarkan, meski Kla masih kesal.

Pukul 20.30 WIB, Pari sudah menguap. Kantuknya semakin menjadi, apalagi hari ini cukup melelahkan.

EbulisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang