1. Allah Itu Kejam?

112 33 8
                                    

"Rui, apa jawaban nomor lima?" Kla memutar kursi, juga memainkan pena di tangan dengan tenang. Ia menukikkan satu alis, melihat Rui tampak belakang yang sepertinya kesal setengah mati. Sejujurnya, Kla bisa mendorong tubuh meski tetap duduk dengan kursi itu, tetapi ia terlalu malas. Ah ... mengintip jawaban pekerjaan rumah Rui sangat bukan gayanya.

"Panggil aku kakak, Kla. Kamu lebih muda dariku." Rui bersungut-sungut, memutar kursi dengan tampang luar biasa kesal. Sudah tiga kali ia mengingatkan hal sama--sejujurnya, lebih sering jika dihitung sepanjang hari. Namun, Kla tak peduli pada peringatannya.

Mendengar perdebatan kakak dan adiknya, Sra diam saja. Anak itu memilih tenggelam dalam buku dongeng terjemahan asal Jerman di depan mata. Lebih menarik. Lagipula, PR itu sudah ia selesaikan sejak pulang sekolah siang tadi, saat Kla dan Rui lebih memilih bermain game.

Benar juga, Kla dan Rui memang tak berniat bertanya pada Sra. Anak tengah itu paling tidak bisa diandalkan masalah memberikan jawaban. Sra justru akan bicara panjang lebar perkara bagaimana jawaban itu bisa ditemukan, agar dua saudaranya bisa menempuh jalan yang sama. Membosankan, Kla dan Rui ingin yang cepat dan instan.

"Apa jawabannya?" ulang Kla. Ia ikut kesal jika Rui sudah mengomel. Tenaganya tak cukup banyak untuk menanggapi celotehan Rui yang tak akan mengubah apa pun itu.

Rui mendesis, barang kali dengan suara ular itu bisa membuat Kla takut padanya. Ah ... nihil, terlalu tak masuk akal. "Jawabannya B. Baca materi lagi dong, makanya."

Segera Kla menyilang jawaban di bukunya. Selesai, ia memang hanya kurang satu nomor. Kla mengembalikan buku ke tempat semula, lalu mengambil buku lain. Lagi-lagi sebuah buku dongeng.

"Malas, baca buku pelajaran buat aku ngantuk." Kla membuka halaman terakhir yang ditinggalkan, tepat di tengah.

Sekali lagi Rui mendesis. Lama-lama ia bisa berteman dengan ular jika terlalu lama berhadapan dengan Kla. Ia lalu ikut berbalik, kembali fokus mengerjakan. Kasihan sekali hanya dirinya yang masih berkutat dengan buku pelajaran. Padahal, Kla benar. Ia mengantuk karena membaca buku itu. Tak apalah, segera selesaikan dan bergabung dengan dua adikmu, Rui.

Suara tik tok di dinding kamar tak akan melambat bahkan jika ketiganya ingin. Waktu mereka membaca kurang panjang, mama mereka sudah memanggil untuk makan malam.

"Iya, Mama. Tunggu sebentar." Sra menyipitkan mata saat menilik ke arah pintu. Illiya tersenyum lewat mata di sana, menyembulkan kepala lewat celah pintu. Perempuan itu memang kerap minta diyakinkan bahwa ketiganya tak akan menunda panggilan atau perintah atau apa pun itu. Ulah Rui dan Kla yang yang sering berkata "iya" tetapi lupa bergerak sampai diingatkan lagi.

"Dalam lima menit kalian harus sudah sampai meja makan, mengerti?" Sekali lagi Illiya tersenyum, sebuah ancaman halus yang sukses membuat Rui merengek. Namun apa daya, pinta mamanya nomor satu.

Illiya pergi lebih dulu, disusul ketiganya semenit kemudian. Membungkuk-bungkuk Rui berjalan, malas. Sra lebih dulu menuruni tangga, sementara Kla paling belakang dengan niat tertahan. Ah ... hanya sebuah niat ingin menendang Rui agar terguling ke bawah, pasti seru andai tidak berbahaya.

Sampai di ruang makan, Haidar sudah duduk manis sembari meneguk segelas air mineralnya. Mengusap kepala Sra saat selesai dan anak itu duduk di sisi kanannya. Yang lain, ah ... mereka tidak terlalu suka rambutnya dibuat berantakan. Sudah dewasa, malu katanya.

"Mama masak apa malam ini?" tanya Rui. Piring berisi makanan di atas mereka menjadi pajangan seketika di matanya, ini namanya basa-basi. Rui hanya suka bicara.

"Sudah jelas itu telur balado, Bodoh!" sentak Kla. Aduh, kakak beradik itu benar-benar.

Sama seperti Haidar dan Illiya, Sra hanya geleng-geleng kepala menyaksikan dua saudaranya, sudah biasa.

EbulisiWhere stories live. Discover now