5. Pamer Kebaikan

64 28 6
                                    

Pelajaran yang paling tidak Pari suka berada di hari Jum'at. Olahraga. Selain karena malas berganti pakaian, itu juga karena Pari lemah dalam mata pelajaran yang satu itu. Ia tidak suka lari-larian, apalagi yang sudah berhubungan dengan bola.

Seperti biasa, saat yang lain pemanasan sambil bercanda dengan teman di sampingnya, Pari hanya mengikuti gerakan guru di depan dalam diam, tanpa semangat. Sedikit-sedikit melirik yang lain, tampak sangat senang. Ia juga ingin. Pada akhirnya, Pari hanya bisa mengembuskan napas lelah.

Materi hari ini adalah lompat jauh. Anak-anak kelas tiga duduk berkelompok di pinggir bak pasir, menunggu giliran namanya dipanggil. Sementara itu, Pari duduk sendirian di ujung bak pasir, menatap tanpa minat juga memainkan pasir sesekali. Ia bosan.

Beberapa saat menunggu, akhirnya guru memanggil namanya, "Prari!"

Ah ... ingin sekali Pari mengeluh saat ini. Pak Toha lagi-lagi salah menyebut namanya, pun tak pernah memanggilnya sebagaimana anak-anak yang lain memanggil.

Pari bangkit, berjalan gontai ke garis start lintasan. Banyak sorakan anak-anak mulai memenuhi lapangan. Ia jadi sedikit enggan mendengarkan aba-aba, mulai berlari saat Pak Toha membunyikan peluit.

Satu langkah, masih bagus, dua langkah, tidak buruk. Melakukan tolakan dengan kaki kiri dan melayang di udara untuk sedetik pun masih tak ada masalah. Baru saat mendarat, Pari melakukan kesalahan. Ia berteriak karena lututnya menubruk lantai batako keras. Lompatan Pari bahkan tak sampai pada bak.

Tangisan anak itu sukses membuat Pak Toha berlari, memeriksa kondisi Pari. Betul saja, lutut kiri dan dua telapak tangan anak itu terluka. Darah merembes meski tak terlalu banyak. Pedih.

Anak-anak yang lain diam, sedikit iba sebetulnya. Namun, karena membawa Pari ke UKS, pelajaran kesukaan hampir seluruh siswa kelas tiga itu terpaksa dihentikan Pak Toha. Mereka diminta kembali ke kelas, karena hal itu mereka kembali sebal pada Pari. Andai Pari tidak jatuh.

Setelah diobati, Pari tak banyak bicara. Menahan sakit juga tangis agar tak lagi pecah. Sengaja anak itu berdiam di UKS sampai bel istirahat berbunyi.

Terpincang Pari berjalan keluar UKS, ia lapar. Tak mungkin dia terus berada di sana. Baru sampai pintu, anak itu berhenti. Diperhatikannya para siswa yang lari-larian di depan sana dengan tampang keruh. Selanjutnya, Pari menunduk dalam, melihat luka di lututnya yang masih terasa pedih. Sakit.

Hampir saja air matanya kembali jatuh saat mengangkat wajah. Namun, kemunculan Kla dengan wajah datar yang tiba-tiba membuatnya urung.

"Dasar cengeng!" cibir Kla.

Tampang Pari semakin keruh, ujung-ujung bibirnya sempurna turun dengan mata yang kembali berair, memerah. Namun, karena tak ingin semakin diejek Kla, anak itu mendongakkan kepala, melihat langit-langit agar liquid bening di pelupuk matanya tak jatuh.

"Kamu mau berdiri di situ terus?" Ucapan Kla sukses membuat Pari melihat ke arahnya lagi. Masih belum berubah. Kla lantas menjulurkan tangan. "Kecuali kalau kamu mau jalan sendiri sambil pegangan tembok."

Meski kesal, tak urung anak perempuan itu memegang tangan Kla juga, menjadikannya tumpuan.

Mereka berjalan super pelan. Untung saja Kla sadar bahwa kaki Pari sakit. Andai tidak, ia sudah meninggalkan anak berambut pirang itu, seperti siput.

"Maaf," lirih Pari, membuat Kla menoleh. "Jangan marah lagi, dong. Kata Bibi Illiya, nggak baik loh, diemin teman lama-lama."

"Aku bukan teman kamu," balas Kla singkat.

Sengaja Pari menghentikan langkah, diikuti Kla. "Terus kenapa kamu bantuin aku?"

"Rui sama Sra nggak bisa istirahat, masih ngerjain soal, nggak bisa bantuin kamu."

EbulisiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora