Bab 12

276 98 6
                                    

Typo is my pride 😀✌️
Happy reading 🤗
.
.
.
.
.
.

"Loh, kenapa Mona ke sini, Pak. Terus Lintang bagaimana?" tanya Enggar penasaran. Tapi tak bisa dipungkiri jika Enggar sebenarnya merasa senang bisa melihat Mona. Sudah lama sekali ia tidak bertemu sosok perempuan yang diam - diam ia taksir, sejak Mona melahirkan waktu itu.

"Lintang sama neneknya. Mona memang sengaja Bapak suruh untuk sekolah lagi, tapi dia tidak mau. Katanya ia ingin belajar jadi montir di sini, karena ingin segera bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri."

"Wah, bagus sekali itu, Pak." Enggar tidak bisa menyembunyikan perasaan senang. Itu berarti ia bisa kembali bertemu dengan Mona setiap hari. "Cihuy...," batin Enggar bersorak gembira.

"Kalau begitu kamu belajar menjadi kasir saja, Mon. Jadi kamu bertugas menerima uang pembayaran dan memberi uang kembaliannya."

Enggar sengaja menyarankan pelajaran yang mudah untuk Mona. Soalnya kasihan Mona jika harus melakukan pekerjaan yang kebanyakan dilakukan oleh laki - laki.

Mona mengerucutkan bibir tanda tidak setuju dengan usul Enggar, cowok badung itu benar - benar suka seenaknya mengatur - ngatur dirinya.

"Semalam Mona sudah bertekad ingin membantu Bapak. Katanya ia harus bisa mencari uang untuk membeli susu dan kebutuhan Lintang. Jadi pelajaran pertama hari ini adalah menyalakan kompresor."

Enggar tertawa terbahak ketika melihat Mona yang masih gagal menyalakan benda tersebut meskipun sudah diberi contoh berkali - kali.

Enggar mendekati Mona dan menepuk bahu perempuan itu. "Sini aku beri con...,"

Ucapan Enggar tak berlanjut karena Mona membalikkan badannya dan memukuli dada bidangnya.

"Sudah kubilang jangan colak - colek!" Mona berteriak marah sambil menyerang Enggar dengan pukulan bertubi - tubi.

Enggar yang merasa terkejut hanya bisa menghindar dan berusaha menenangkan. "Iya, Mon. Maaf ya, maaf...," Enggar berteriak sambil menangkup kedua tangannya.

Wajah Mona merah karena marah dan napasnya terdengar ngos - ngosan. Enggar jadi merasa sangat bersalah. Ternyata trauma itu masih membekas di hati Mona.

Pak Kamidi menepuk Bahu Enggar. "Tolong tanganmu dikondisikan."

Mona itu seperti tuan putri yang di istimewakan oleh keluarga pak Kamidi. Meskipun bukan anak kandung, tapi beliau sangat menjaga dan merawat Mona beserta Lintang dengan sangat baik melebihi anak kandung sendiri.

"Sebenarnya Bapak meminta Mona untuk melanjutkan sekolah. Sepertinya ia belum siap menjadi seorang ibu. Akhir - akhir ini Mona tidak sabaran menghadapi Lintang. Jadi daripada kejiwaan Mona semakin memburuk, mungkin jalan terbaiknya adalah memberi kesempatan Mona untuk menikmati masa mudanya."

Enggar menatap pak Kamidi dengan kagum. Beliau adalah orang paling baik dan sabar yang pernah Enggar temui. Mungkin karena itulah ia merasa betah berlama-lama di bengkel untuk membantu pria paruh baya tersebut. Yang membuat Enggar semakin menaruh hormat adalah, pak Kamidi memberikan upah tersebut kepada Enggar. Padahal Enggar memang sengaja membantu dan ikhlas tidak dibayar supaya meringankan beban beliau yang sudah menampung seorang remaja hamil yang terusir dari rumah.

Enggar menatap Mona yang masih belum menyerah belajar. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Mona berhasil melakukannya.

"Hahay..., Akhirnya aku bisa," seru Mona sambil menunjukkan raut wajah riang.

"Pelajaran berikutnya adalah mengisi angin. Sini, Nak! Bapak akan tunjukkan bagaimana caranya. Kamu perhatikan dengan baik - baik ya!"

Juru isi angin. Itulah pekerjaan pertama yang dilakukan oleh Mona. Setiap ada pelanggan yang datang untuk sekedar mengisi angin pada ban kendaraan mereka, Mona akan dengan sigap dan cekatan melakukan tugasnya.

M.E.LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang