"𝑾𝒉𝒆𝒏 𝑻𝒘𝒐 𝑺𝒐𝒖𝒍, 𝑩𝒐𝒖𝒏𝒅 𝒕𝒐 𝑯𝒆𝒂𝒍"
Setiap orang pasti memiliki luka dalam hidupnya. Namun, tak semua luka bisa 'sembuh' dalam waktu yang singkat. Rasa bersalah dan beratnya mengikhlaskan, terkadang membelenggu seseorang hingga tak...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Kak Arash... Ayah bakal baik-baik aja, kan?" Devara yang masih nyaman berada di pelukan Arash berujar lirih. Arash menatap wajah 'teman baru'-nya itu, terlihat memprihatinkan.
Beberapa menit yang lalu, mereka masih berada di dua tempat yang berbeda. Arash yang baru saja kembali dari kantin rumah sakit setelah membeli seporsi nasi, dan Devara yang terduduk seorang diri di dalam musala.
Sebenarnya, Arash tidak sengaja menemukan keberadaan Devara saat ia hendak menaiki tangga dan harus melewati musala. Isakan tangis yang samar-namun masih terdengar-menggerakkan hati kecil Arash untuk menghampiri Devara. Ia bisa mengenali remaja itu dari pakaian yang Devara kenakan.
"Kamu percaya sama kehendak Tuhan, kan? Tuhan pasti tahu, apa yang terbaik untuk ayahmu. Jangan khawatir," jawab Arash sekenanya, sambil terus mengelus punggung Devara.
Devara mengangguk, "tapi... Aku takut banget, Kak. Aku takut... Ayah pergi." Lirihnya kemudian.
Arash sangat paham dengan perasaan Devara. Namun, ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Hatinya terlalu kaku dan keras, sehingga tidak bisa menyalurkan rasa hangat selain melalui pelukan.
"Kamu tenang, ya," hanya kalimat itu yang bisa terlontar dari mulut Arash.
Dua puluh menit berlalu, mereka masih dalam posisi yang sama. Arash mulai dilanda rasa kantuk, matanya terasa berat. Tanpa ia sadari, Devara sudah terlelap dalam pelukannya sepuluh menit yang lalu.
Drrt... Drrt...
Getaran di sakunya membuyarkan rasa kantuk Arash. Ia merogoh saku tersebut, mengeluarkan benda pipih dari dalam sana.
"Mama, telepon? Ada apa?" gumamnya lirih. Ia segera mengangkat telepon itu, berusaha bicara se-pelan mungkin.
"Halo, Ma. Kena--"
"Arash... Ayo naik ke ICU, Nak! Om Husein... Om Husein kembali kritis," Ujar Shela panik.
Arash bergegas menutup telepon, kemudian menggendong Devara yang masih tertidur untuk naik ke ICU. Postur tubuh Devara yang tidak terlalu besar untuk remaja seusianya, memudahkan Arash dalam membopong tubuhnya.
Ya Tuhan... Tolong, jangan lagi...
Langkahnya semakin cepat. Devara yang merasa tubuhnya terguncang, berangsur bangun dari tidur lelapnya.
"Kak Arash... kenapa? Turunin aja, Kak. Aku bisa jalan sendiri," pinta Devara setelah perlahan kembali sadar.
"Nggak usah, aku antar kamu naik. Ayahmu... Ayahmu kritis." Dengan berat hati, Arash harus menjelaskan kondisi Husein pada putranya itu.
Devara kembali menangis. Arash sedikit berlari, menjangkau ruang ICU yang tinggal beberapa meter lagi. Dalam hati, Arash berdoa untuk keselamatan sahabat dari papanya itu.