Chapter 2: The Transmigration

3.8K 390 1
                                    

🍀

Eric membuka matanya, sakit kepala dapat ia rasakan. Ia bangun lalu mengedarkan pandangannya, dapat ia lihat kamar besar dengan dinding abu-abu beserta perabot yang bergaya modern. 

Eric seketika menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya. Terdengar pintu yang terbuka menyebabkan Eric membuyarkan lamunannya.

"Tuan, apakah anda sudah merasa baikan?" kata seseorang yang masuk. 

Dilihat dari gayanya dapat disimpulkan bahwa ia adalah seorang pelayan. Eric kemudian menoleh dan mengangguk. Ia masih mencerna apa yang terjadi padanya. Dapat dilihat di kaca besar yang berada di sudut ruangan, wajah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Saat itu, Eric menyadari bahwa ia mengalami transmigrasi. Pelayan kemudian mengintrupsi, "Tuan, sarapan sudah siap dan tuan muda sudah menunggu di meja makan."

 Eric kebingungan dengan maksud sang pelayan namun hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap.

 Eric kebingungan dengan maksud sang pelayan namun hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Eric menuruni tangga dan dapat ia lihat seorang pemuda yang duduk di meja makan dengan seragam SMA. Ia kemudian mendudukkan diri dan melihat sang pemuda yang menatapnya takut. Ia melirik nama yang terdapat di badge seragam yang pemuda itu pakai. 

Terlihat 'Alvian Alexandre' tertulis disana. Eric kemudian merasa terkejut karena nama tersebut jelas sangatlah tidak asing untuknya.

Alvian merupakan nama karakter favoritnya dalam novel yang terakhir kali ia baca. Sekelebat ingatan asing muncul dalam kepala Eric. 

Kemudian ia pun menyadari bahwa ia bertransmigrasi ke dalam tubuh Arthur Alexandre, kepala keluarga Alexandre, ayah dari karakter favoritnya Alvian.

Eric yang sekarang kita sebut Arthur kemudian mulai mengingat-ingat bahwa Arthur merupakan karakter yang cukup egois karena dia merupakan penyebab Alvian menjadi pribadi yang cukup pendiam dan dingin karena tidak dipedulikan olehnya. Arthur juga sering mengatakan kata-kata yang menyakiti hati.

[Eric > Arthur]

Arthur menatap lamat Alvian membuatnya merasa tidak nyaman. "Kenapa, yah?" tanya Alvian takut. Arthur hanya menggelengkan kepala. Merasa sakit kepala yang mendera akibat ingatan tubuh asli yang menelisik masuk ke kepalanya. 

Alvian merasa kebingungan, tidak biasanya ayahnya menanggapi pertanyaannya. Ia biasanya hanya akan diam sambil menatap Alvian tajam. 

Alvian dapat melihat wajah ayahnya yang sedikit pucat. Alvian menatap khawatir ayahnya, takut untuk bertanya lebih lanjut.

Terdengar bunyi decitan kursi lalu ia melihat ayahnya berdiri sambil mencengkram kepalanya lalu berlalu. Alvian hanya dapat melihat punggung ayahnya sampai ia melihat tubuh limbung ayahnya.

"AYAH!!" teriak Alvian lalu berlari untuk menangkap tubuh ayahnya yang hampir jatuh. Terlihat wajah pucat ayahnya dan kernyitan di dahinya. Ia kemudian membopong tubuh ayahnya ke dalam kamar dan memanggil pelayan untuk segera memanggil dokter keluarga.

 Ia kemudian membopong tubuh ayahnya ke dalam kamar dan memanggil pelayan untuk segera memanggil dokter keluarga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Alvian menatap khawatir kepada dokter yang memeriksa ayahnya. Setelah dokter tersebut selesai melakukan pemeriksaan, dokter kemudian menatap Alvian. 

"Tuan Arthur hanya kelelahan, usahakan untuk menjaga istirahat dan pola makannya. Terutama dengan penyakitnya..." perkataan dokter tersebut terpotong. Ucapan tersebut terpotong akibat tatapan tajam yang dilayangkan oleh pelayan yang ada di sebelah Alvian.

"Penyakit apa?" tanya Alvian. Dokter hanya menatap kebingungan dan melirik pelayan yang kemudian menundukkan kepalanya di samping Alvian. 

Raut kebingungan terpatri jelas di wajah Alvian. Alvian menatap bolak-balik antara dokter dan pelayan pribadi ayahnya, wajahnya memancarkan arti meminta penjelasan.

Pelayan pribadi Arthur, Eugene hanya dapat menghela napas dan mengangkat kepalanya. "Tuan muda, saya tidak bisa menjelaskan hal tersebut. Anda perlu meminta penjelasan kepada Tuan karena saya tidak memiliki wewenang tersebut." ucap Eugene pelan sambil menatap Alvian sedikit takut. Kemarahan jelas terlihat dalam wajah Alvian. 

"Kenapa? kenapa aku gak boleh tau?" terdapat kemarahan dan sedikit kesedihan dalam nada suaranya.

Eugene hanya dapat kembali menundukkan kepalanya. Melihat itu, Alvian merasa sakit hati dan dadanya sesak. 

Batinnya berpikir 'mengapa ia tidak boleh mengetahui kondisi ayahnya sendiri?' 

'apakah sebegitu tidak dianggapnya dia?'. 

Alvian hanya bisa mencengkram dadanya merasa sesak ingin menangis. Alvian merasa ingin meraung dalam kepalanya hanya berisi pertanyaan kenapa. 

"Vian" ucap suara yang agak serak dari arah ranjang. Disana, Arthur telah membuka matanya dan menatap Alvian yang matanya sedang berkaca-kaca.

 Alvian yang melihat itu kemudian buru-buru beranjak ke ranjang ayahnya. "Ayah..." katanya sambil menahan tangis yang ingin segera keluar. 

"Maaf" kata Arthur pelan. Detik itu juga air mata Alvian yang ingin ditahan mengalir. Arthur mengangkat tangannya dan mengusap lelehan air mata yang ada dipipi Alvian. 

"Maafkan ayah untuk semua yang ayah lakukan selama ini, ayah tidak tau harus berbuat apa setelah ibumu pergi." ungkap Arthur dari perasaan tubuh asli setelah ia mendapatkan semua ingatan Arthur asli.

" ungkap Arthur dari perasaan tubuh asli setelah ia mendapatkan semua ingatan Arthur asli

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

~To Be Continued~

the heart of a fatherWhere stories live. Discover now