Chapter 27 Mencium Komandan di Aula

Magsimula sa umpisa
                                    

"Kenapa datang ke sini? Cengengesan lagi," kataku ngegas.

"Emang enggak boleh kalau aku ke sini, resek banget jadi orang," jawabnya ketus, lalu dia berkacang pinggang.

"Entahlah, lagian aku gak mau diganggu. Udah, deh, pergi aja sana. Dari tadi bukannya enggak peduli gitu sama aku." Dengan spontan aku mengusir.

"Malas, ah, ini bukan Btalayon kamu, kok. Pake ngusir-ngusir segala. Oh, ya, tadi ada masalah apa sayang sama Komandan Rusli?" tanyanya sangat penasaran.

Lalu, aku menolehnya yang mulai mendekatkan wajah. "Aku gak tahu, jangan kepo banget sama urusan orang!"

"Ih, jutek banget gile. Eh, kamu itu pacar aku sekarang. Jangan anggak aku ini musuhmu, dong!" pekiknya.

"Bodo!" ketusku seraya memutar pandangan.

Lamunan ini terganggu karena Komandan Reza datang, kehadirannya yang selalu tepat pada waktunya, di saat mood mulai berantakan, dan membuat aku sangat ingin diperhatikan. Dia pun menarik bangkunya dan lebih dekat, lalu menyentuh telapak tangan ini.

Ciuman mesrah telah dia berikan, lesung pipinya mulai membentuk di kala sedang tersenyum. Aku sangat tidak bisa marah, dia adalah laki-laki paling aneh di dunia ini. Belum pernah aku secinta ini pada sesama, dan Komandan Reza berhasil mematahkan kalau dia lebih baik dari wanita.

"Sayang ... kenapa diam aja. Jawab, lah, pertanyaan aku tadi," ucapnya penuh harap.

"Aku gak ada masalah apa-apa, Sayang. Kami juga baru bertemu di ruang ujian, itu pun dia meledek kalau mata aku kuning."

"Ya, kan, nyatanya memang begitu kalau mata kamu kuning. Pasti kamu marah, kan, sama dia sampai dia pun begitu sekarang!" tebaknya ngegas.

"Mimpi! Sejak kapan Jhon pemarah, kalau gak mau mendengar lebih baik diam aja, begitu loh sayang ... yang sangat kepo ...," kataku seraya mencubit pipinya.

"Eleh ... sok kali diam, pas diajak ke rumah hantu malah teriak-teriak gak jelas. Pas naik kora-kora minta turun, mana ada pendiam seperti itu," ledeknya.

"Kalau itu lain cerita, gak pernah naik kora-kora, kok. Udah, ah, aku mau balik mau tidur," kataku.

"Sayang, nantilah bentar lagi ... kan, ini masih waktu istirahat. Aku kangen banget sama kamu, punya pacar tapi gini banget sifatnya."

"Minta permen, katanya kemarin mau beliin permen banyak," kataku menadahkan tangan.

"Bentar-bentar." Sang kekasih memutar tas kecilnya yang menempel di pinggang, lalu dia mengambil permen banyak.

Dia pun membuka bungkus permen itu dan memberikannya. Aku mau, tidak ada yang bisa menolak apa yang dia inginkan. Kali ini kami hanya berdua, tidak ada satu pun dalam aula. Pintu sudah tertutup, dan kekasih sangat paham kalau aku sedang banyak pikiran.

Secara lembut dia menyentuh pipi ini, bergerak menuju dagu dan kami saling bersitatap.

"Aku sayang sama kamu, jangan selingkuhi aku di luar sana, ya. Kalau sekadar berteman pada siapa pun aku izinkan, asal jangan berlebihan," ucapnya.

Anggukan pun aku lakukan, agar dia tidak terus-terusan memperpanjang nasihat itu. Aku yang sudah menatapnya, kemudian memeluk tubuh tegap di hadapan. Bersembunyi di pelukan, kemudian merasakan hangatnya pelukan itu. Khayalan menjadi sangat jauh, kemudian aku merubah posisi dan duduk di paha komandan.

Kali ini aku berada satu bangku padanya, dengan wajah yang mendekat dan kedua kali menuju ke belakang badannya. Sekarang terasa sangat nyaman, dan aku tak mampu pergi jauh-jauh darinya.

"Reza," panggilku.

"Eh, mulutmu, sejak kapan manggil aku nama!" pekiknya spontan.

"He-he-he ... kan, nama kamu itu memang Reza, apakah aku ada salah?" tanyaku meledek.

"Ya, enggak salah tapi aneh. Kalau pun kau jadi istriku, mana boleh manggil nama. Gak sopan, ingat kalau aku komandan dan di sini peraturannya sudah jelas!" katanya lagi.

"Ah, mana peduli aku. Kalau gak mau dipanggil Reza, gak usah ketemu lagi. Gitu aja, kok, susah!"

"Gak mau! Enak aja, mau ngomong apa menggil-manggil?" tanyanya.

"Kan, tadi ada seleksi fisik, itu maksudnya gimana, ya? Apakah kami harus lomba renang, atau lomba tarik tambang?"

"He-he-he ... mana ada lomba tarik tambang, emangnya ini mau tujuh belasan apa?!" pakiknya terkekeh.

"Lantas?" imbuhku penasaran.

"Besok setelah dapat 4 orang yang berhasil masuk final, baru dikasih tahu. Abang aja gak tahu, kok, sistemnya seperti apa di hari final itu!" katanya.

Karena tidak mendapatkan jawaban apa pun, aku kembali memeluk komandan dan mencium pipi kanan dan kirinya. Mendadak bringas dan sangar di antara kami hilang, setelah bertemu untuk memadu kasih. Seorang angkatan adalah manusia biasa, jadi mereka memiliki hati yang lembut.

Bahkan lebih lembut dari kue, terbukti dengan adanya percintaan ini. Aku dapat membuat Komandan Reza menjadi lunak dan jinak, padahal sebelumnya dia adalah laki-laki yang ketika berkata selalu mengikutkan logika.

Berbeda dengan aku, yang sedang bertindak tidak pakai logika melainkan menggunakan semangat pantang menyerah. Ini adalah pesan dari almarhum ibuku, dia merupakan janda yang sangat penuh semangat.

Bahkan dia tidak menikah lagi ketika ayahku pergi meninggalkan dia, saat aku berada 7 bulan dalam kandungan. Setelah beberapa menit di dalam ruangan, seruan azan pun terdengar dari luar. Aku memberhentikan untuk mencium, dan menatap jendela.

"Sayang, udah azan, kita balik ke asramah aja, yuk!" ajakku.

"Oke, aku juga mau salat juga. Kamu ke luar duluan, biar aku ikut dari belakang!" katanya.

Dengan anggukan, aku berjalan ke luar dari ruang aula. Memperbaiki baret hijau dan memegang pensil di tangan kiri, kemudian aku berjalan melintasi teras. Ternyata masih ada beberapa peserta ujian di sana, mereka belum pulang meninggalkan Batalyon 3.

Berjarak beberapa senti dengan posisi duduk mereka, aku melintasinya dan berjalan sangat kencang tanpa menoleh sama sekali.

"Ini yang namanya, Jhon, itu ya?"

"Dia benar-benar bule, lihat aja matanya kuning."

"Katanya dia blasteran Portugis, badannya putih gila. Hidungnya mancung banget, baru kali ini aku melihat blasteran Portugis."

Begitulah reaksi para perajurit ketika melihat aku melintas, memekik heboh, alay, lebay dan lain sebaginya. Setibanya di ujung ruangan, aku berbelok dan akan bergerak ke asramah lagi. Ketika turun dari teras utama, suara teriakan pun terdengar dari belakang.

"Jhon ...!" teriak seseorang, aku terdiam dan menoleh. Ternyata dia adalah Raka dan Bambang, sudah berganti pakaian dan menuju ke arahku saat ini.

Bersambung ...

Seleksi Calon BintaraTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon