Chapter 36 Bayangan Misterius di Luar Kamar

512 29 1
                                    

POINT OF VIEW
(Jhonson Ericson Macen Cullen)

Setelah mendapatkan ciuman paling aneh dari Antonio, aku bergeming di ambang pintu dan menatap kanan serta kiri. Pasalnya, ciuman itu langsung mendarat di lubuk hati paling dalam. Berselancar jauh dan membuat hati ini seolah terjun bebas menuju mata kaki.

Secara saksama, aku menatap mantap Antonio yang tersenyum menskipun kesakitan. Kali ini dia terlihat sangat perkasa dan layaknya seorang pejantan tangguh, akan tetapi berhasil aku kalahkan dalam babak final. Sudah sekian lama aku tak mengeluarkan jurus paling mematikan dalam hal melawan seseorang.

Ilmu karate yang aku kuasai itu hanya boleh di keluarkan hanya beberapa kali dalam satu waktu. Karena dampaknya akan fatal jika ada lawan yang paham, serta menjadi boomerang bagi diri sendiri. Darah segar ke luar dari dalam hidung Antonio, membasahi pundakku dan otomatis menciptakan bau amis.

Aku membawanya kembali menuju dipan, di atas pembaringan tiga dari laki-laki yang tergabung dalam satu tim itu tengah meringis. Namun, Raka hanya tenang dan dia melihat kehadiran diri ini dari ambang pintu. Sang sahabat menoleh ke arahku, lalu dia manarik napas panjang.

Sembari meletakkan badan Antonio di atas ranjang, dia pun meringis dan kami bergerak sangat pelan. Pundak dan kakinya dapat di pastikan tengah cidera, akan tetapi aku tidak mematahkan begitu fatal. Hanya saja, tangannya yang kemungkinan akan sembuh lebih lama.

Emosiku sempat memuncak karena Antonio telah menjatuhkan aku berulang-ulang dan obsesinya yang memuncak untuk menang itu sampai membabi buta dan tak bisa melihat lawan. Namun, aku adalah orang yang tak mau mencelakai orang lain apa pun alasannya.

Setelah tidur di atas dipan, barulah Raka mencoba bergeser dan Bambang masuk ke dalam ruangan. Aku menatapnya, seraya duduk di atas ranjang tempat di mana Antonio tidur. Kali ini sang sahabat berjalan menundukkan kepala, dia pun bergeming di hadapanku seraya diam.

Aku tak tahu apa maksudnya, karena Bambang tak pernah begitu kalau bersikap. Beberapa menit setelahnya, sang sahabat pun bergeming di hadapanku. Dia menyodorkan tangan, dan sepertinya akan bersimpuh. Melihat aksi tersebut, aku langsung bangkit dan menarik kedua pundaknya untuk tetap berdiri.

"Bambang, jangan lakukan itu," ucapku secara spontan.

"Jhon, maafkan aku atas semua kata-kata yang gak berkenan di hati. Aku sudah salah ketika tadi siang, karena melihat Raka yang tidak berdaya itu," jawabnya menjelaskan.

Dengan sangat lembut, aku mengelus pundak kanannya. "Bambang, kita ini sahabat dan merangkap saudara. Aku tak akan mencelakai siapa pun, hanya saja ini adalah profesional. Kamu lihat, kan, aku gak menginginkan kemenangan itu."

Tiba-tiba, Bambang pun memeluk tubuhku sangat erat. Dia meneteskan air mata dan sangat tulus dalam meminta maaf. Mereka bertiga adalah laki-laki pertama yang aku kenal di Batalyon 3, ini adalah pertemuan paling indah selama aku hidup di dunia. Sejarah baru telah tercipta, karena aku tak pernah mendapatkan hal ini sebelumnya.

Sembari mengelus pundak sang sahabat, aku pun berkata, "sudahlah, ini adalah konsekwensinya. Selagi kita masih berada dalam ruang lingkup yang sama, jagalah masing-masing dari kita."

"Ya, ini adalah sahabat sejati yang sesungguhnya. Aku bangga padamu, Jhon, karena kau mampu membuat aku tenang sekarang!" pekik Bambang.

"Baiklah, aku permisi ke luar dulu, karena akan ada yang harus aku lakukan. Kalian di sini aja, karena aku akan kembali lagi secepatnya," jawabku seraya bergerak dengan kaki yang terseret di lantai.

Seraya menahan rasa sakit, aku mampu berjalan dengan sisa-sisa tenaga. Di depan teras batalyon 3, aku menatap ke arah bawah. Ini adalah sakit yang terbilang cukup membuat aku sedikit terluka, karena rasanya mulai membuat jantung ini terasa ngilu.

Seleksi Calon BintaraWhere stories live. Discover now