Chapter 29 Sesi Kedua Turnamen Dimulai

724 29 0
                                    

Akhirnya Jhon mengikuti apa yang aku katakan, dia memutar badan seraya berjalan gontai di tengah terpaan hujan deras. Tanpa menoleh sama sekali, lelaki paling berharga dalam hidupku sudah menemukan jati dirinya. Kalau dia tidak sekadar pintar, akan tetapi kuat dalam segi bela diri.

Hanya saja, Jhon adalah orang yang kurang percaya diri di awal. Aku tahu itu, karena sejak namanya tak masuk jajaran lulus seleksi kala itu, sikapnya sangat optimis. Yang pasti, walau pun aku tidak bisa memilikinya, diri ini sudah lunas untuk membuat dia kuat.

Dengan melihatnya bahagia dari kejauhan itu lebih dari cukup untukku, biarlah segalanya aku pendam perihal rasa dan perasaan ini. Mungkin suatu saat nanti dia akan paham, mengerti akan perasaan ini. Aku pun memutar badan, memalingkan tatapan, mengerling sejurus menuju bumi.

Hari ini bumi basah karena terpaan hujan, seluruh wilayah bahkan asramah tengah diguyur air sangat lebat. Bahkan volumenya juga meningkat, sampai naik ke mata kaki. Dengan berjalan di tengah hujan, air mata menjadi satu bersama dengan ironi yang tak mungkin aku cegah kembali.

Yang tersisa hanyalah sebuah kenangan, momen, dan lain sebagainya. Teringat di awal ketika kami melaksanakan apel, dan berada di ruang makan. Betapa bangganya aku melihat Jhon, dia mampu menangkis serangan yang diberikan oleh senior.

Demi melindungi sesamanya, dan terbukti kalau dia sangat menyayangi sahabatnya. Tidak dengan aku, bertiga di dalam kamar tidak pernah saling tegur sapa. Bahkan sampai saat ini, aku tak tahu kisah latar belakang keluarga mereka.

Bahkan aku sempat kenal Jhon lebih jauh, Bambang dan Raka Lesmana. Mereka yang sangat jauh dari kamarku, bahkan tidak bisa dibilang kami baik ketika awal, Jhon mampu memberikan aku sahabat yaitu berupa sebuah perasaan yang terbang bersama angin.

INGIN RASANYA MEMBALAS KECEMBURUANKU PADA ANGIN, YANG SEWAKTU-WAKTU MEMELUK TUBUHMU SANGAT ERAT.

Namun, itu bagai mimpi belaka. Aku yang sekadar kagum, kemudian cinta. Lalu memulai menumbuhkan perasaan untuk memiliki, akan tetapi apa boleh buat. Aku tidak bisa menembus tembok cinta yang dimiliki Komandan Reza, sekalipun mereka tidak terang-terangan padaku perihal ini.

Sudah dapat ditebak olehku, kalau mereka tidak sekadar teman. Karena sejauh ini, mereka sangat akrab di waktu yang sempit. Setelah sampai di ruang kamar, aku membuka pintu dengan keadaan basah.

Lalu, Riko dan Roni yang ada di dalam kamar menatap ke arahku yang berjalan. Mereka membangkitkan badan, duduk dan kemudian berdiri di samping kanan dan kiri. Riko menyentuh pundakku perlahan, lalu dengan cepat aku menepisnya untuk tidak ikut campur dalam masalah ini.

"Kau baik-baik saja, Nio?" tanyanya.

"Aku baik, tapi tidak untuk hari ini, Rik," jawabku seraya menoleh.

"Badanmu basah banget, apa yang terjadi padamu teman. Apakah mereka membuat kau sampai seperti ini, ak-aku minta maaf kalau akhirnya menjadi kacau," imbuh Riko lagi sangat melas.

Kemudian aku menolehnya, lalu membuang senyum tipis. "Kau tidak salah, semua sudah berlalu dan jangan saling menyalahkan. Justru, aku hanya marah pada waktu yang dapat membuat diri ini hancur."

Terlihat jelas kalau Riko dan Roni menelan ludah, aku pun terdiam seribu bahasa lalu kembali lanjut untuk mandi. Hari-demi hari telah terlewati, dan ini merupakan waktu yang tepat untuk berdiam diri.

Selepas mandi aku berbaring di kamar, seruan azan salat magrib terdengar. Tetapi tidak untuk aku yang seperti biasa, selalu ikut salat dengan Jhon meskipun aku beragama kristen. Sekarang jauh berbeda, bahkan untuk menemuinya saja kaki ini terasa berat.

Mungkin suatu saat nanti kami bisa bersama, menjalani hidup bagai seorang sahabat. Namun, untuk saat ini belum bisa. Aku lebih memilih untuk sekadar diam dalam kamar, mungkin sampai besok akan tiba dan membawa diri untuk baik-baik saja.

Seleksi Calon BintaraWhere stories live. Discover now