2. Jauh Sebelumnya

103 30 4
                                    

Aku bermimpi.
Atau lebih tepatnya, aku merasa bahwa ini mimpi.

Aku melihat diriku sendiri. Dengan penampilan yang aneh namun terkesan elegan dan berwibawa. Untuk sesaat aku tak bisa langsung yakin bahwa itu adalah aku. Hingga seseorang muncul.

"Sudah saatnya, Archmage Callipa."

Callipa? Namaku adalah Calliope. Selain itu, Archmage? Apa-apaan itu?

"Suruh semua orang mengungsi. Lalu biarkan dia masuk."

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa suasananya jadi mencekam begini? Lalu kenapa wajahku yang bernama Callipa itu nampak sangat sedih?

Seolah tak di beri waktu untuk berpikir, tahu-tahu aku sudah berpindah tempat sekarang. Pemandangan yang ku lihat pun tak setenang sebelumnya. Aku melihat diriku sendiri yang bernama Callipa sedang berdiri memegang tongkat di hadapan seorang pria yang bersimpuh tak berdaya dengan lututnya. Kondisi di sekitar pun nampak kacau seakan habis terjadi pertempuran besar-besaran. Tak butuh waktu lama bagiku untuk memahami situasi tersebut.

Pria yang sedang sekarat itu pastilah musuh Callipa (aku). Itu sebabnya Callipa menyuruh semua orang mengungsi karena dia akan menghadapi orang ini sendirian. Entah seberapa kuatnya Callipa itu, tapi yang ku lihat sekarang jelas bahwa dia sudah menang. Pria itu mungkin akan mati sebentar lagi.

Tapi...

Kenapa Callipa nampak sangat sedih? Kesedihannya seolah juga terukir ke diriku yang sedang menonton adegan ini. Tanpa di sadar-sadar, aku pun sudah lebih dulu meneteskan air mata sebelum Callipa.

"Beginilah akhirnya. Akhir dari pilihan yang kau ambil."

Callipa membuka mulutnya. Suara yang juga sangat ku kenal sebagai suaraku sendiri. Hingga membuatku makin yakin bahwa dia adalah aku.

"Cal..."

Pria itu juga akhirnya bersuara. Meski aku yakin butuh tenaga yang sangat besar di kondisinya sekarang, dia tetap meneruskan kalimatnya.

"Jika kehidupan yang baru setelah kematian itu benar-benar ada, maka di kehidupanku yang berikutnya nanti.... aku harap aku bisa terlahir sebagai penyelamat. Maka aku akan berdiri di sisimu dan bersama-sama menyelamatkan dunia yang kau cintai ini."

Ah... kenapa dia harus berkata seperti itu? Bikin hatiku jadi makin sakit saja mendengarnya.

Berikutnya, aku melihat Callipa menjatuhkan tongkatnya lalu bersimpuh di hadapan pria itu. Tangannya juga terangkat menghantarkannya ke pipi pria itu dan menyentuhnya. Aku bahkan bisa merasakan pipi yang hangat itu di telapak tanganku juga.

"Cael, matilah tanpa menyisakan penyesalan apapun. Dunia ini hanya akan tenang tanpamu."

Oh, nama pria itu Cael.

Pria yang pipinya saja hangat meski sedang di ambang kematian, kenapa harus mati di tangan Callipa yang berhati dingin? Teganya dia berkata seperti itu pada pria yang sebentar lagi akan mati. Sebenarnya siapa penjahat di antara mereka?

"Hhaa... andai saja waktu bergerak lebih lambat supaya aku bisa merasakan sentuhanmu sedikit lebih lama. Takdir itu benar-benar kejam, kan? Demi menciptakan keseimbangan, jahat dan baik harus ada namun tak bisa berdampingan. Aku yang terlahir sebagai pembawa kehancuran ini, mana mungkin bisa berada di sisimu yang terlahir sebagai pembawa keselamatan? Meski kita memiliki perasaan yang sama."

"Jangan khawatir, aku akan terus membawa perasaan ini sampai mati."

"Kau tak boleh melakukannya. Kau harus terus melanjutkan hidupmu. Ah, sial! Ada banyak yang ingin ku katakan tapi aku sudah kalah. Cal... kau harus menyelesaikannya. Demi dunia yang kau cintai ini, kehancuran harus di musnahkan."

Tidak! Jangan, Callipa!

Ugh, suaraku tak bisa keluar!

Aku benar-benar ingin mencegahnya membunuh Cael, tapi tak bisa. Aku bahkan tak bisa bergerak sesuka hati.

Tunggu, penglihatanku juga semakin samar. Apa aku akan bangun sekarang? Oh, tidak! Aku ingin melihatnya sampai akhir. Ada yang gak beres di situasi itu. Aku ingin memastikan sesuatu.

Jangan bangun dulu!

Ja---HHAA, HHAA, HHAA!!!
Napasku! Napasku terengah-engah.

"CALLI!!!"

Ah, aku benar-benar sudah kembali. Tepat setelah aku membuka mata, aku bertemu pandang dengan sepasang iris mata merah milik Tanjiro.

"Calli, syukurlah."

Dia tersenyum dengan sangat hangat melebihi matahari pagi ini. Oh, kalau di pikir-pikir, ternyata malam sudah berlalu. Kami masih di tengah hutan, tapi tak ada tanda-tanda Iblis. Apa kami sudah menang? Apa saja yang terjadi selama aku tak sadarkan diri? Apa alur cerita berjalan kembali sebagaimana mestinya?

Banyak yang ingin ku tanyakan, tapi yang lebih mengusikku sekarang adalah mimpiku. Kenapa tiba-tiba aku memimpikan diriku sendiri? Siapa Callipa dan Cael dalam mimpiku itu? Kalau Callipa adalah aku, apa maksudnya semua itu?

"Kau baik-baik saja, Calli?"

"Um, gapapa, kok! Hanya saja, aku gak begitu ingat apa saja yang terjadi semalam. Apa kau berhasil mengalahkan Iblis itu?"

Kalau sesuai alur cerita yang ku ingat, Tanjiro akan menggunakan Hinokami Kaguranya. Tapi karena gagal memenggal kepalanya, Tanjiro nyaris mati sampai kemudian Giyuu muncul menyelamatkannya dan memenggal si Iblis.

Apa itu yang terjadi selama aku pingsan?

"Bukan aku yang berhasil mengalahkannya."

Oh, syukurlah! Aku lega karena sepertinya alur cerita sudah berjalan normal.

"Tapi kita berdua yang mengalahkannya. Kau dan aku."

"Huh?!"

Bukan Giyuu, tapi kami berdua? Bagaimana bisa?

"Kerja sama kita sangat hebat semalam dalam mengalahkan Iblis Bulan Bawah ke-5. Kau tidak ingat? Kita berdua bersama-sama mengalahkannya. Kita sudah menyelamatkan banyak orang."

Hng? Kata-katanya itu, kenapa....

"Jika kehidupan yang baru setelah kematian itu benar-benar ada, maka di kehidupanku yang berikutnya nanti.... aku harap aku bisa terlahir sebagai penyelamat. Maka aku akan berdiri di sisimu dan bersama-sama menyelamatkan dunia yang kau cintai ini."

Cael.... apa dia benar-benar terlahir kembali sebagai penyelamat sekarang? Tanjiro yang tersenyum itu, kenapa mengingatkanku pada senyum terakhir Cael yang ku lihat tepat sebelum aku terbangun.

When The Sun Goes Down (DEMON SLAYER FANFIC)Where stories live. Discover now