04

694 257 57
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

💌

SESUAI USULAN Uti, Wening melangsungkan ritual terakhir dari rangkaian hajatan hari ini.

Yasmin yang sengaja tidak diberi tahu apapun mengenai ritual ini hanya mampu melongo di pelaminan. Wening sudah bersiap pada posisinya, di atas panggung kecil di samping pelaminan. Ada Ibu yang mendampinginya. Lalu, Bapak datang membawakan janur kuning yang masih segar. Wening menerimanya dengan hormat, kemudian setelah menerima perintah, Wening mulai menggigit janur itu tiga kali.

Selanjutnya adalah tugas Ibu untuk mencambuk Wening menggunakan janur yang sama, juga sebanyak tiga kali.

Ritual ditutup dengan pembacaan doa dalam langgam krama inggil khidmat yang dibawakan seorang ustaz sesepuh. Semua orang menundukkan kepala dalam hening. Rangkaian doa itu dialamatkan untuk keharmonisan rumah tangga Yasmin, dan terutama, agar Wening dijauhkan dari kesulitan menemukan jodohnya kelak.

Dengan berakhirnya ritual ini, tuntas sudah tugas Wening untuk meyakinkan keluarga besarnya bahwa dia bisa menerima dilangkahi Yasmin. Tidak sulit sama sekali. Masalah lain yang menghadang Wening ketika dia kembali ke kamar adalah seserahan. Harus diapakan semua barang berkualitas tinggi yang tidak diinginkannya ini?

Ketukan dari luar kamar membuat Wening beranjak dan membuka pintu. Ibu segera masuk dan menutupnya kembali.

"Ning, kamu ndak apa-apa?" Suara Ibu terdengar serak. Mata Ibu berkaca-kaca. Ibu meraba lengan, punggung, dan beberapa bagian tubuh Wening lainnya. "Ada yang sakit? Ada yang luka? Nduk ... sepurane. Maafkan Ibumu ini, maafkan Ibu yang ndak bisa membela kamu. Maafkan Ibu kamu jadi harus dibeginikan ...."

"Ibu ... Ibu sudah, Ibu ndak salah apa-apa, Bu."

Wening menarik Ibu ke dalam pelukannya, dan di sanalah tangis Ibu akhirnya pecah. Air mata dan sedu sedan Ibu membuat Wening merasakan sesak di dadanya. Namun, sebaiknya dia tidak menunjukkan itu karena Ibu akan lebih cemas. Hanya usapan pelan yang bisa Wening berikan demi menenangkan punggung tua yang gemetar itu.

Dua puluh tahun sudah Wening hidup bersama keluarga ini, dan selama itu pula Wening paham mengenai kedudukan Ibu, terutama di keluarga besar Bapak. Ibu cuma seorang anak menantu yang pendapatnya hanya didengar kadang-kadang, bahkan dalam perkara rumah tangganya sendiri, masukan saudara iparnya lebih dipertimbangkan. Terbiasa diperlakukan begitu, Ibu hanya bersuara pada percakapan ringan dan cenderung pasif pada diskusi yang lebih dalam.

Sejak itu, Wening menambahkan satu lagi kriteria calon suaminya kelak--di samping harus mendukung Wening dan mimpi-mimpinya: keluarga besar mertua yang tidak ikut campur dalam rumah tangganya.

Dengan rumitnya kriteria ini, pantaslah para sesepuh mencemaskan Wening yang dilangkahi adiknya. Sebab Wening sendiri tidak yakin apakah akan ada pria seperti itu untuknya.

Wening menggamit tangan Ibu, mengajak beliau duduk di dipannya. Ketika Ibu berusaha menyeka air matanya, sebagian riasannya ikut luntur. Wening tersenyum tipis. Selama ini, semarah-marahnya Ibu kepada Wening dan Yasmin, beliau sama sekali tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Sekadar mencubit pun tidak.

Karenanya, mencambuk Wening, meskipun pelan dan bahkan tidak terasa sama sekali di tubuh Wening, adalah siksaan bagi batin Ibu. Wening yang dicambuk, Ibu yang terluka.

"Bu ... mboten menopo. Wening baik-baik saja, Bu. Ndak ada yang sakit apalagi luka." Entah sudah berapa kali Wening membisikkannya. Ibu masih tergugu dalam tunduknya, berusaha mengendalikan tangis.

"Kamu ndak akan kesulitan masalah jodoh. Ibu percaya itu."

"Dan Wening percaya sama Ibu." Sekali lagi, Wening menggamit kedua tangan Ibu. "Lebih baik sekarang Ibu bantuin Wening. Purun, tah, Bu?"

Kurirasa 1990Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang