03

757 247 72
                                    

Terima kasih dan selamat membaca 💕

💌

SEJAK Wening kecil mampu mengenali dan mengingat orang-orang di sekitarnya, Uti menjadi salah satu sosok yang paling dia senangi. Sewaktu keluarga Wening masih menyewa rumah mungil di samping rumah Uti, hampir setiap hari Wening dibawa Uti menginap di rumah beliau. Terutama setelah Yasmin lahir dalam jarak dekat dengan Wening dan Ibu jadi kewalahan, Wening merasa lebih diperhatikan oleh Uti. Apalagi, di rumah Uti selalu tersedia cenil kesukaannya.

Sepuluh tahun kemudian, keluarga kecil mereka pindah setelah rumah dari hasil keringat Bapak dan Ibu berhasil dibangun. Rumah itu hanya berjarak 2 kilometer dari kediaman Uti, tetapi lingkungan dan teman-teman baru membuat frekuensi pertemuan Wening dan Uti berkurang sedikit demi sedikit. Nyatanya, hal itu tidak mengurangi kedekatan Wening dan Uti, sebab seperti yang sering dikatakan orang, jarak akan membuat momen-momen kebersamaan menjadi lebih berharga.

Wening selalu melihat Uti layaknya malaikat tanpa sayap, hingga suatu hari di masa SMP, Wening menyaksikan sendiri murkanya malaikat itu saat salah satu cucunya dinyatakan tinggal kelas. "Mau jadi apa kamu, Cah Goblok? Cah wedok meskipun goblok masih bisa hidup sama suami, tapi awakmu iki lanang, mbok kasih makan apa anak-istrimu besok kalau suaminya guoblok seperti kamu?"

Atau ketika sepupu Wening yang lain kedapatan mencuri mangga dari pohon tetangga. "Nggih bawa saja dia, Pak Hansip. Monggo dijatuhi sanksi sesuai ketentuan. Kalau ndak dihukum, sekali pencuri selamanya pencuri. Jika perlu diusir saja daripada meresahkan warga."

Atau ketika sepupu yang lain ketahuan hamil di luar nikah dan lelaki yang seharusnya bertanggung jawab justru menghilang. "Sebelum kamu mau ditiduri penjahat itu, apa kamu sempat mikirkan keluargamu? Apa kamu mau mikir yang akan kamu lakukan itu aib seumur hidup buat keluargamu? Ndak, tho? Kamu cuma mau dibuat enak sama penjahat itu, tapi sama sekali ndak mengenakkan buat keluargamu. Sekarang, gantian keluargamu yang ndak mau mikirkan nasibmu. Dibesarkan baik-baik, tapi ngene iki [seperti ini] caramu berterima kasih? Pergi, jangan buat keluarga ini lebih kotor dengan melahirkan anak haram itu di sini. Kamu rusak, rusak saja sendiri."

Jika ditelusuri lagi, Wening memang belum pernah keluar dari peringkat 3 besar sekolah. Dia sering mewakili sekolah dalam kompetisi cerdas-cermat dan sudah menang beberapa kali. Berbeda dari Yasmin yang sering kali keras mempertahankan keinginannya, Wening memiliki toleransi dan empati lebih terhadap sekitarnya. Gadis itu meninggalkan kesan baik di mata banyak orang, termasuk Uti, hingga akhirnya Wening cukup dewasa untuk mengerti bahwa selama ini Uti bukan memanjakannya.

Dia diistimewakan, sebab ada harapan besar yang diam-diam ditaruh di bahunya.

💌

Kenyataan itu membuat Wening yang sekarang kian berhati-hati dalam bersikap, terutama di sekitar Uti. Kenyataan itu pula yang membuat kaki Wening terasa berat saat melangkah ke kamarnya.

Seperti kata Ibu, ketika Wening datang, Uti sudah ada di dalam. Wanita sepuh itu sedang duduk di dipan, matanya berkeliling memandang kamar Wening yang masih berantakan karena seserahan palsu, dan bibirnya tersenyum.

"Kamarmu wangi, Nduk. Dikasih apa ini? Uti juga mau buat di kamar," gumam beliau.

Wening tertawa sambil mencium tangan dan memeluk neneknya. "Dikasih menyan," guraunya, kemudian duduk bersama Uti. "Ya mboten dikasih apa-apa, Uti. Ini yang wangi bukan cuman kamar Wening, tapi sak rumah, gara-gara kembang tujuh rupanya Yasmin itu."

Kurirasa 1990Where stories live. Discover now