"Ooh, iya betul juga, Bu Dokter." Uti mengangguk.

"Pripun kabaripun [Bagaimana kabarnya], Ti? Kemarin Bapak bilang Uti sakit punggung, gimana ceritanya, apa sudah baikan?"

Lima menit berikutnya dihabiskan untuk bertukar kabar. Uti selalu terlihat bangga saat menanyakan progres kuliah Wening, mungkin karena di antara semua cucu perempuannya, hanya Wening yang melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Dan nenek mana yang tidak bangga ketika mempunyai alasan kuat untuk memanggil cucunya sebagai 'Bu Dokter'?

"Cilikanmu [Kamu waktu kecil] dulu sueneeeng betul main dokter-dokteran. Uti disuruh jadi pasien terus. Seharian disuruh tiduran terus, ndak boleh berdiri. Ndak terasa sebentar lagi Uti bisa jadi pasienmu sungguhan," ucap Uti, bersama sorot mata harunya yang membuat Wening tersenyum.

"Ya kalau bisa nggih jangan jadi pasiennya siapa-siapa, Ti. Jadi pasien itu sakit. Wening ndak mau Uti sakit."

"Ndak apa-apa, Utimu ini memang sudah tua, sudah ndak sehat lagi," Uti tertawa tanpa ada kecewa, "mudah-mudahan Uti masih punya waktu buat melihat kamu jadi Bu Dokter sungguhan, Nduk."

"Amin. Dijaga kesehatannya, Ti, biar bisa melihat lebih banyak lagi."

Uti mengangguk. "Uti juga kepingin sekali bisa ketemu suamimu nanti."

Satu kalimat tiba-tiba itu menampar hati Wening.

Namun, Wening masih mempertahankan senyum tenangnya. "Amin, Ti."

"Kamu belum punya pacar, tah, Nduk?" Kali ini, Uti menatap cucunya lekat-lekat.

"Ndak ada, Ti."

"Kalau yang seneng sama kamu? Mesti akeh, tho? Putuku uwayu [Cucuku cuantik], pinter, kalem, sopan, luar-dalem baiknya begini, masak ndak banyak lelaki ngganteng yang tertarik?"

Sekilas, wajah kaku seorang lelaki asing melintasi pikiran Wening.

Tapi gadis itu buru-buru menggeleng. "Isi hati lelaki, kan, bukan urusan Wening, Ti."

"Kalau isi hatimu gimana, Nduk? Apa belum ada yang menarik hatimu?"

Sosok bermata biru gelap yang sama dengan sebelumnya terlihat kembali, membuat Wening spontan menggeleng lagi. "Ndak ada juga, sih, Ti."

"Nduk," Uti menggamit satu tangan Wening, "apa ndak apa-apa kamu dilangkahi Yasmin seperti ini?"

Wening menarik napas singkat. Bagian krusialnya sudah dimulai. "Lillahi ta'ala Wening terima, Ti."

"Tapi sebaiknya kamu yang lebih dulu, Nduk. Apa si Yasmin ndak bisa menunda demi kamu? Dari kecil kamu terlalu sering ngalah sama dia, dia jadi egois dan lupa cara menghormati mbakyu-nya."

"Wening ndak ngalah, kok, Ti. Wening memang ndak keberatan saja. Dan Yasmin juga ndak pernah ndak menghormati Wening."

"Kalau dia menghormati kamu, seharusnya dia ndak keberatan sungkem sama kamu di acara besok."

"Ngapunten, Uti. Uti sampun bicara sama Bapak, ya?"

Setelah terdiam beberapa lama, Uti mengangguk. "Ya, bapakmu sudah cerita." Beliau mengusap pelan bahu cucunya. "Kamu ini terlalu baik, diberi seserahan semahal ini semua, kamu ndak mau. Disungkemi adikmu, kamu juga ndak mau. Padahal itu semua demi kamu."

Rasanya, Wening mau angkat tangan.

Entah dengan cara apalagi Wening harus meyakinkan Uti, bahwa dirinya sama sekali tidak terlalu baik seperti yang sering beliau katakan. Dia hanya tidak butuh dan sudah gerah dengan semua ini. Mendebat sang nenek tidak menyelesaikan apapun sebab mereka hanya akan berputar di situ-situ saja, Wening tahu itu. Lebih baik langsung melompat ke kesimpulan.

Kurirasa 1990Where stories live. Discover now