9. Meminta Bantuan

2 2 0
                                    

Uleng mengamati Daeng Mangalle dari kejauhan dengan perasaan was-was, sebab, Marauleng itu tidak menunjukkan wajah senang saat disapa oleh Daeng Mangalle. Meskipun begitu, Uleng belum melakukan apa-apa, dikarenakan belum ada tindakan membahayakan yang dilakukan Marauleng.

"Mengapa Anda berada di tempat ini, Daeng?" tanya Marauleng setelah memberi hormat.

"Saya sedang berjalan-jalan dan kebetulan melihat kau latihan dengan tombak. Kau terlihat sangat lihai menggunakan tombak."

Penjelasan Daeng Mangalle membuat Marauleng menoleh pada tombak di tangannya. "Siapa pun bisa menggunakan tombak, Daeng. Saya yakin kemampuan Anda berada jauh di atas saya. Anda juga tidak seharusnya mendatangi saya seperti ini."

Kening Daeng Mangalle seketika mengkerut kala mendengar ucapan Marauleng. "Saya rasa tidak masalah, karena saya menyapa dan memberikan pujian pada rakyat."

Marauleng menggeleng pelan sambil berdecih. "Saya tahu status Daeng adalah seorang pangeran, tetapi Anda belum memiliki rakyat. Karaeng Bontomangape yang memerintah Gowa, bukannya Anda, Daeng. Sementara ini, kedudukan kita sama, yaitu sama-sama seorang rakyat, tetapi Daeng hanya sedikit beruntung saja karena lahir dan tinggal di sebuah kerajaan," tukas Marauleng berani. Bagi seorang anak berusia 14 tahun, Marauleng cukup berani berbicara seperti itu di depan seorang pangeran.

Bukannya marah, Daeng Mangalle malah memberikan tepuk tangan. "Berani sekali kau berbicara seperti itu pada saya," katanya menatap berani lawan bicara yang lebih tinggi beberapa sentimeter darinya.

"Saya bukannya tidak menghormati Anda, Daeng, tetapi saya mengatakan kebenaran. Sekarang ini, yang memimpin kerajaan ialah Karaeng Bontomangape. Sedangkan Anda bukanlah apa-apa, melainkan seorang pangeran yang tinggal di kerajaan. Saya mengatakan ini agar di masa depan, Daeng dapat menjadi pemimpin yang mengerti rakyatnya. Disegani dan dihormati, karena diri Daeng sendiri, bukan karena Daeng putra Karaeng Bontomangape ataupun adik Karaeng Galesong." Lagi-lagi Marauleng memberikan kritik secara terang-terangan di depan yang bersangkutan.

Daeng Mangalle mendengar jelas semua ucapan Marauleng. Ia terdiam di tempatnya selama beberapa detik sebelum Marauleng kembali angkat suara.

"Mohon maaf apabila saya lancang, Daeng Mangalle. Akan tetapi, saya ingin melanjutkan latihan saya kembali. Saya tidak ingin Anda terluka karena saya," kata Marauleng sembari merapatkan kedua tangan.

"Saya mengucapkan terima kasih karena Anda telah menghampiri dan menyapa saya. Tetapi, untuk perkataan saya sebelumnya, saya tidak akan mengucapkan permintaan maaf, karena saya mengatakan itu demi kebaikan Anda. Sebagai seorang rakyat, saya tentunya mengharapkan pemimpin yang baik, misalnya seperti pemimpin saat ini. Saya yakin Anda pun berpikiran yang sama," kata Marauleng lagi sebelum berbalik meninggalkan Daeng Mangalle.

"Maka bantu saya."

Ucapan keras Daeng Mangalle sontak membuat Marauleng menghentikan langkah dan membalikkan badan. "Apa yang Anda katakan, Daeng?" tanyanya bingung. Ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud ucapan Daeng Mangalle.

"Maka bantu saya menjadi pemimpin yang baik di masa yang akan datang. Saya memang lahir dan tinggal di kerajaan, tetapi kemampuan saya sangat jauh dari Karaeng Bontomangape yang begitu hebat. Menyaingi kehebatan Karaeng Galesong pun saya belum mampu. Bantu saya meningkatkan kemampuan sehingga saya dapat berdiri di samping kedua orang hebat itu," tukas Daeng Mangalle dengan sorot mata serius.

Marauleng tercengang di tempatnya. Uleng yang berada tidak jauh dari tempat di mana Daeng Mangalle berada pun sama terkejutnya dengan Marauleng. Bagaimana bisa Daeng Mangalle meminta rakyat biasa membantunya meningkatkan kekuatan? Apalagi jika orang itu hanyalah anak-anak yang berumur satu di atas Daeng Mangalle.

"Apa maksud Anda, Daeng Mangalle? Saya membiarkan Anda menyapa anak ini, bukan untuk memintanya membantu Anda berlatih," cetus Uleng sedikit emosi.

"Kau sendiri tahu bagaimana kelihaian Marauleng menggunakan tombak, Uleng. Saya yakin dia bisa membantu saya berlatih sampai suatu hari nanti saya bisa menjadi seperti Karaeng Galesong," jawab Daeng Mangalle. Ambisinya mengalahkan sang kakak masih berkobar.

"Saya tahu, tetapi Daeng bisa mencari orang lain. Saya yakin masih banyak orang yang bisa membantu Daeng Mangalle berlatih. Anda tidak bisa mencari guru sembarangan." Uleng menolak keras keinginan Daeng Mangalle. Menurutnya, masih ada yang lebih layak menjadi guru bagi Daeng Mangalle.

"Tetapi umur saya dan Marauleng tidak begitu jauh. Saya yakin saya bisa belajar dengan cepat," kata Daeng Mangalle bersikeras dengan pendapatannya sendiri.

Marauleng menjadi penonton perdebatan antara Daeng Mangalle dan pengawalnya itu. Ia lalu berdehem. "Tidak ada gunanya memperdebatkan sesuatu yang tidak penting, tetapi di sini, saya yang paling pantas memberikan pendapat," katanya mengalihkan perhatian kedua orang itu.

"Bagaimana Marauleng? Kau mau membantu saya berlatih menggunakan senjata, bukan? Saya juga ingin belajar bersama gurumu." Daeng Mangalle berucap dengan mata berbinar. Ia benar-benar kagum dengan Marauleng dan Malomo. Bagi Daeng Mangalle, kemampuan keduanya sudah sangat hebat.

"Tidak."

Hanya jawaban singkat tanpa perlu pemikiran panjang yang terlontar dari mulut Marauleng.

"Saya akan memberikan apa pun yang kau inginkan jika membantu saya berlatih menggunakan senjata," kata Daeng Mangalle lagi. Ia optimis dapat membujuk Marauleng agar dapat membantunya.

Tawa Marauleng kembali pecah. "Saya tidak menginginkan apa pun, Daeng. Saya tidak merasa Anda cukup layak menjadi murid Malomo dan menjadi teman berlatih saya."

Ucapan Marauleng berhasil membuat Uleng naik pitam. Ia menarik kaus Marauleng yang dipenuhi keringat.  "Beraninya kau mengatakan hal seperti itu pada Daeng Mangalle. Siapa yang kau sebut tidak layak? Kau yang tidak layak menjadi teman siapa pun."

Marauleng bergeming di tempatnya dengan tenang. Tidak sekali pun ia gentar dengan tatapan menyala yang dilayangkan Uleng padanya.

"Sudah, Uleng. Kau tidak boleh tersulut emosi seperti ini," kata Daeng Mangalle guna menenangkan Uleng. Biasanya, Uleng cukup pandai dalam mengontrol emosi.

Uleng melepaskan cengkramannya dari kaus Marauleng. "Daeng, Anda dengar, bukan, apa yang dikatakan olehnya? Anda disebut tidak layak. Bagaimana bisa dia menilai hanya dari melihat tampilan luar Daeng Mangalle saja?" adu Uleng. Ia tidak terima jika Daeng Mangalle dinilai buruk.

"Saya juga tidak terima," sahut Daeng Mangalle. "Maka, berikan alasan paling tepat mengapa kau tidak mau membantu saja berlatih senjata?" Daeng Mangalle menoleh pada Marauleng.

"Baiklah," jawab Marauleng setelah mengembuskan napas panjang. "Saya akan memberikan satu pertanyaan. Jika Daeng mampu menjawabnya dengan tepat, maka saya akan membiarkan Anda menjadi teman berlatih saya. Akan saya katakan juga hal ini pada Malomo agar Malomo menerima Daeng sebagai muridnya."

"Apa itu? Akan saya jawab pertanyaan yang kau ajukan." Daeng Mangalle percaya dengan dirinya sendiri. Bahwa ia mampu menjawab pertanyaan yang diajukan Marauleng.

"Pertanyaannya begitu mudah. Saya yakin Daeng bisa menjawabnya. Mengapa Daeng Mangalle ingin berlatih menggunakan senjata pada saya ataupun Malomo?"

Daeng Mangalle menyeringai. Tidak menyangka jika Marauleng akan mengajukan pertanyaan yang sangat mudah seperti itu.

"Saya sempat memberikan jawaban sebelum pertanyaan ini diajukan," balas Daeng Mangalle. "Saya ingin mengalahkan Karaeng Galesong. Mengapa saya ingin belajar dengan kau atau Malomo, karena saya melihat kemampuan kalian begitu hebat. Tidak jauh berbeda dengan Karaeng Galesong," jawabnya penuh percaya diri.

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [Segera Terbit]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu