2. Pembicaraan Rahasia

12 5 0
                                    

Daeng Mangalle bergeming di tempatnya sambil menikmati embusan angin. Netranya diarahkan pada Karaeng Galesong yang bergerak menjauh meninggalkan tempat latihan mereka. Pergerakan sang kakak diamati terus olehnya sampai Karaeng Galesong dan seorang pria yang mengikuti tidak lagi terlihat.

Embusan napas kasar keluar dari mulut Daeng Mangalle. "Hanya Karaeng Galesong saja yang diminta menghadap Karaeng Bontomangape, sedangkan saya tidak," ucapnya memasang wajah cemberut.

Luka gores di lengan seketika mengalihkan perhatian Daeng Mangalle. Luka itu tidak besar dan dalam, tetapi cukup memberikan sedikit rasa sakit. Meskipun begitu, ia tidak berniat mengobati lukanya.

"Lukanya akan segera sembuh. Saya sebaiknya latihan lagi."

Daeng Mangalle beranjak dari posisi duduknya. Diambilnya tombak kayu yang biasa digunakan untuk latihan lalu menggerakkannya secara asal. Di lapangan itu, tidak ada siapa pun selain dirinya. Para pengawal pun tidak ikut menemani, sebab, Daeng Mangalle dan Karaeng Galesong menginginkan suasana tenang di lokasi latihan mereka.

"Apakah saya harus menerapkan apa yang dikatakan Karaeng Galesong?" Daeng Mangalle bertanya pada dirinya sendiri. Ucapan sang kakak seketika berputar di kepalanya.

"Tidak. Ucapan Karaeng Galesong tidak saya dengar sepenuhnya. Jadi, tidak ada alasan bagi saya untuk menerapkan apa yang dikatakannya."

Tombak itu diangkat tinggi oleh Daeng Mangalle. Ia tidak ingin menerapkan petunjuk atau apa pun yang dikatakan Karaeng Galesong. Setiap orang mempunyai cara bertarungnya sendiri, termasuk dirinya. Menerapkan hasil latihan dan menciptakan hal-hal baru yang akan memberikan manfaat saat bertarung merupakan tujuan paling pasti bagi Daeng Mangalle.

"Bayangkan ada musuh yang harus saya hadapi dan kalahkan." Monolog Daeng Mangalle lalu menciptakan bayangan seorang musuh yang ada di hadapannya. Musuh yang mengancam dirinya ataupun kerajaan Gowa itu sendiri.

Tombak Daeng Mangalle diarahkan pada objek bayangan semu yang diciptakannya sendiri. Dikarenakan musuh adalah objek pemikiran dirinya sendiri, Daeng Mangalle dapat dengan mudah mengalahkan lawan tersebut. Ia bahkan membayangkan tombak di tangannya merupakan tombak asli, bukannya tombak kayu yang biasa digunakan saat latihan.

Sebuah kain yang terletak di samping teko tanah liat diambil Daeng Mangalle. Keringat yang mengucur sampai ke leher diusapnya menggunakan kain tersebut. Sebelum mengakhiri latihan, ia memutuskan menenggak segelas air lalu pergi meninggalkan lapangan tersebut.

"Karaeng Galesong sedang membicarakan apa saat ini? Sepertinya mengenai strategi mengalahkan para kompeni," gumam Daeng Mangalle mempercepat langkah memasuki kerajaan.

Tidak menggunakan alas kaki menjadi keuntungan tersendiri bagi Daeng Mangalle. Ia bergerak cepat tanpa menimbulkan suara yang akan menarik perhatian para prajurit. Belum lagi dengan suasana sekitar yang sepi, membuatnya dapat bergerak dengan bebas.

"Para prajurit sepertinya sedang latihan. Akan ada peperangan yang akan terjadi."

Langkah Daeng Mangalle berhenti. Terlihat seorang pengawal tengah berdiri di depan sebuah ruangan yang pintunya terkunci rapat. Pengawal itu siap siaga. Menjaga mereka yang mendiami ruangan tersebut. Juga, menjaga orang luar agar tidak mengacaukan pembicaraan serius di dalam ruangan.

Laki-laki berkulit sawo matang dengan rambut lepek karena keringat itu berdiri di sisi lain dari pria yang menjaga keamanan di depan ruangan itu.

Kehadiran Daeng Mangalle sontak membuat pria itu menoleh. "Tabe, Daeng Mangalle, tidak seharusnya Anda berada di sini. Saya diminta untuk menjaga tempat ini dan tidak membiarkan siapa pun masuk," tukasnya memberikan penjelasan.

"Saya juga?" Daeng Mangalle menunjuk dirinya sendiri.

Pria itu mengangguk. "Iya. Saat ini ada pembicaraan rahasia yang berlangsung. Saya harap Anda dapat memakluminya dan pergi meninggalkan tempat ini. Anda juga terlihat lelah. Sebaiknya Anda istirahat, Daeng," cetus pria itu lagi setelah memperhatikan sekilas laki-laki itu.

"Kau juga lelah, Enre. Bagaimana jika kau istirahat sejenak dan biarkan saya menjaga di sini? Sebentar saja tidak apa-apa." Daeng Mangalle mencoba membuat penawaran pada pria bernama Enre itu.

Enre menegakkan punggungnya. "Tidak. Saya akan menjaga di sini, sampai pembicaraan di dalam selesai. Anda tidak bisa membujuk saya, Daeng."

Daeng Mangalle mengembuskan napas berat. "Ya sudah. Saya tidak akan mengganggu. Tetapi, saya minta kau katakan apa yang menjadi topik pembicaraan saat ini. Apakah situasi kerajaan sangat genting?" Daeng Mangalle belum juga putus asa. Meskipun berada tepat di depan pintu, tetapi ia tidak dapat mendengar apa yang menjadi topik pembicaraan para petinggi kerajaan di dalam ruangan.

"Saya tidak tahu, karena di sini saya hanya menjaga keamanan saja," balas Enre singkat.

"Kau ini sangat tidak berguna," cetus Daeng Mangalle sedikit kesal. "Kau tentunya tahu sedikit banyak tentang apa yang terjadi. Katakan saja apakah Karaeng Galesong akan bertempur lagi kali ini?"

Enre terdiam untuk sesaat. "Benar. Karaeng Galesong akan berperang bersama prajurit lainnya," balasnya singkat.

Jawaban Enre sontak membuat Daeng Mangalle berdecak sebal. Ia lalu pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa mengatakan apa-apa.

"Karaeng Galesong lagi, Karaeng Galesong lagi. Selalu saja Karaeng Galesong menjadi andalan kerajaan Gowa."

Daeng Mangalle tidak dapat menyembunyikan rasa kesalnya terhadap sang laksamana angkatan laut kerajaan Gowa itu. Nama Karaeng Galesong sudah santer terdengar, begitu pula dengan kehebatannya. Tidak heran jika Karaeng Galesong menjadi andalan kerajaan Gowa kala menghadapi musuh.

"Saya sebaiknya menunggu di sini saja." Daeng Mangalle memilih duduk menunggu tidak jauh dari tempat di mana Karaeng Galesong, para petinggi dan raja Gowa berada.

Duduk bersandar pada sebuah pilar, Daeng Mangalle menunggu dengan tenang di sana. Rasa ingin tahunya begitu menggebu, sehingga memutuskan menetap di sana dalam waktu yang lama. Bahkan, rasa kantuk mulai datang melanda. Meskipun begitu, Daeng Mangalle tidak berniat meninggalkan tempat tersebut.

"Kenapa begitu lama? Apa saja yang menjadi topik pembicaraan?" cetus Daeng Mangalle kesal. Tidak hanya mengantuk, tetapi keadaannya juga tidak begitu baik. Terdapat luka gores di lengannya. Belum lagi dengan keringat yang membuat tubuhnya lengket. Seharusnya, ia membersihkan diri dan bukannya duduk menunggu tanpa kepastian di sana.

"Mungkinkah sudah selesai?" Sejenak, Daeng Mangalle beranjak dari tempat duduknya. Ia masih dapat melihat Enre yang menjaga di depan pintu. Embusan napas kasar kembali terdengar. "Mustahil sudah selesai. Sebaiknya saya kembali ke tempat semula sebelum Enre kembali meminta saya pergi."

Enre yang menjaga di depan pintu menyadari kedatangan Daeng Mangalle. Meskipun bersikeras, ia tidak akan mengatakan apa-apa pada laki-laki bertubuh kurus dan berkulit sawo matang itu. Selain tidak diperbolehkan, ia pun tidak mengetahui apa yang menjadi topik pembicaraan dalam ruangan yang dijaganya itu.

"Apalah Enre tidak merasa bosan? Sejak tadi menjaga di depan pintu itu." Daeng Mangalle tidak habis pikir dengan Enre. Kepatuhan dan kesetiaan pria itu pantas mendapatkan acungan jempol. Enre melakukan tugasnya tanpa pernah mengeluh.

"Kenapa mengantuk sekali?" Daeng Mangalle kembali mendudukkan dirinya di tempat semula. Sejenak, ia menutup kelopak matanya.

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [Segera Terbit]Where stories live. Discover now