4. Guru dan Murid

8 3 0
                                    

"Uleng, kau di sini saja. Jangan ikuti saya."

Melangkah berani, Daeng Mangalle menghampiri anak laki-laki seumuran dirinya yang dianiaya oleh pria dewasa itu. Ia berdiri di depan anak laki-laki itu dengan tangan terentang dan mata yang menatap tajam.

Pria itu berdecak sebal. "Anak kecil berani-beraninya mengganggu. Sana pergi!" katanya sedikit membentak.

Namun, Daeng Mangalle bergeming di tempatnya. Tanpa mengatakan apa pun, ia membalik badan dan menarik tangan anak laki-laki seumurannya itu agar beranjak dari tempatnya.

"Apa yang kau lakukan? Sebaiknya kau pergi dari sini," kata anak laki-laki itu memperingatkan.

"Saya membantumu dari orang jahat ini. Jadi ...." ucap Daeng Mangalle. Ia belum menyelesaikan kalimatnya. Akan tetapi, pria itu sudah lebih dulu menyerangnya.

Serangan mendadak yang didapat Daeng Mangalle seketika membuatnya tersungkur. Melihat hal itu, Uleng langsung menghampiri Daeng Mangalle dan menodongkan badiknya pada pria itu. "Berani-beraninya kau menyakiti Daeng Mangalle!" katanya keras.

Penuturan Uleng seketika membuat nyali pria itu ciut. "Maafkan saya, Daeng. Saya telah bersikap tidak sopan pada Anda. Daeng boleh menghukum saya, asal jangan dihukum mati," cetus pria itu seraya membungkukkan tubuh di hadapan Daeng Mangalle.

Sejenak, Daeng Mangalle bergeming di tempatnya. Meskipun belum memberikan perintah apa-apa, tetapi Uleng tetap siap siaga. Berjaga-jaga apabila pria itu melakukan tindakan bodoh yang mungkin dapat melukainya.

Seperti Daeng Mangalle, anak laki-laki yang sebelumnya sempat mendapatkan tindak kekerasan dari pria berambut keriting itu juga ikut bergeming di tempatnya.

"Hei, Marauleng. Apa yang lakukan? Cepat membungkuk dan minta maaf." Pria itu berucap sedikit tegas, tetapi dengan nada rendah pada anak laki-laki bernama Marauleng itu.

"Iya, Malomo," balas Marauleng lalu ikut membungkukkan badan.

"Tabe', Daeng Mangalle. Mohon maaf atas ketidaktahuan saya dan Marauleng," kata pria bernama Malomo itu berucap kembali dengan penuh sesal.

Daeng Mangalle belum juga memberikan tanggapannya atas permintaan maaf Malomo dan Marauleng. Entah mengapa ia senang melihat kedua orang itu diliputi rasa khawatir tanpa ujung.

"Sudahlah, Malomo. Sepertinya Daeng Mangalle tidak berniat memaafkan kita. Sebaiknya kita lanjutkan latihan saja," kata Marauleng tiba-tiba seraya mengangkat tubuhnya.

Malomo belum sempat memberikan tanggapan apa-apa pada anak itu, tetapi badik Uleng sudah lebih dulu mendarat di bawah dagu Marauleng. "Jaga bicaramu, anak kecil," katanya dengan mata melotot. "Sebaiknya kita eksekusi saja mereka di depan rakyat, Daeng." Uleng menoleh pada Daeng Mangalle. Mengharapkan tanggapan balasan atas saran yang disampaikannya.

Malomo semakin memperkecil jarak dengan Daeng Mangalle. "Saya mohon, Daeng. Jangan matikan saya dan Marauleng. Dia memang anak yang kurang ajar, tetapi saya mohon ampunan Anda," katanya lagi penuh permohonan. Sikap garangnya seketika hilang sesaat setelah mengetahui dengan siapa ia berhadapan. Bukan rakyat biasa, tetapi pangeran kerajaan Gowa.

"Apa hubungan antara Malomo dan Marauleng?"

Pertanyaan Daeng Mangalle sontak membuat Malomo mengangkat kepala. Pun begitu dengan Uleng yang menatap bingung padanya.

"Tabe', Daeng Mangalle. Mengapa Anda menanyakan hal itu pada orang yang akan dieksekusi?" tanya Uleng tidak percaya atas kalimat yang meluncur dari mulut pangeran Makassar itu.

"Saya ingin tahu, Uleng. Kau siap siaga saja. Jika mereka melakukan tindakan berbahaya, kau lakukan pekerjaanmu. Lakukan apa yang kau mau pada mereka. Saya tidak akan peduli lagi."

"Baik, Daeng Mangalle," balas Uleng singkat.

Daeng Mangalle kembali beralih pada Malomo dan Marauleng. Ia bertanya mengenai hubungan antara kedua orang itu, sebab, mereka tidak terlihat seperti ayah dan anak. Bahkan, wajah mereka saja tidak mirip. Benar saja, Marauleng merupakan anak yang tinggal bersama Malomo. Meskipun begitu, hubungan antara keduanya lebih seperti guru dan murid.

Malomo juga menjelaskan bahwa sejak tadi, ia dan Marauleng sedang melakukan latihan. Secara kasat mata, Malomo terlihat seperti melakukan tindak kekerasan pada anak di bawah umur. Akan tetapi, mereka sedang melakukan latihan ketahanan yang dapat dikatakan cukup ekstrim, yakni menyerang secara langsung tanpa adanya serangan balasan yang dilancarkan Marauleng.

"Saya memaafkan Malomo dan Marauleng. Tetapi, izinkan saya melihat kalian berlatih."

Malomo tersentak kaget. "Apakah Anda yakin, Daeng?" tanyanya tidak percaya.

"Memberikan pengampunan pada mereka sudah cukup bagus, Daeng Mangalle. Anda tidak perlu berlama-lama di sini dan menonton latihan bertarung mereka. Ada banyak prajurit yang bisa Daeng Mangalle lihat latihannya setiap hari. Saya juga akan membantu Anda dalam berlatih," cetus Uleng. Ia tidak ingin Daeng Mangalle berada di sana dalam waktu lama.

Penuturan Uleng menerbitkan senyum di bibir Daeng Mangalle. "Saya ingin melihat bagaimana mereka berlatih, Uleng. Antara mereka, kau ataupun para prajurit kerajaan Gowa, tidaklah memilki latihan yang sama," cetusnya memberikan alasan. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik dan ingin melihat langsung seperti apa latihan Malomo dan Marauleng.

"Sudah waktunya kita kembali, Daeng Mangalle." Uleng kembali berucap tanpa takut. Sebagai seorang pengawal pribadi, ia diberi kepercayaan lebih untuk mengurusi segala hal tentang Daeng Mangalle. Ia juga memiliki hak untuk menolak apa yang menjadi permintaan Daeng Mangalle, jika itu diperlukan.

"Tidak apa-apa, Daeng Mangalle. Mohon maaf jika saya lancang, tetapi Anda bisa datang kapan saja. Saya dan Marauleng akan sangat tersanjung," cetus Malomo sembari membungkukkan badan.

"Baiklah," sahut Daeng Mangalle singkat sebelum pergi meninggalkan tempat tersebut bersama Uleng.

Marauleng menatap kepergian Daeng Mangalle dan Uleng dalam diam. Kedua punggung itu terus diamati sebelum ia menoleh pada Malomo yang berstatus sebagai gurunya itu.

"Malomo, kenapa meminta Daeng Mangalle datang melihat latihan kita lain kali? Saya tidak suka jika saat sedang berlatih, ada orang lain yang melihat," protes Marauleng.

"Apakah kau bisa menolak seorang pangeran, Marauleng? Jika kita melakukan hal-hal yang membuat Daeng Mangalle tidak senang, maka nyawa kita sudah melayang. Kau lihat prajurit yang bersamanya itu. Kemampuannya pasti sangat bagus sehingga dia bisa menjadi prajurit pribadi seorang pangeran. Kau jangan melakukan hal-hal bodoh atau nyawamu yang akan menjadi bayarannya," tukas Malomo memberikan penjelasan. Mendapatkan pengampunan dari Daeng Mangalle saja ia sudah sang bersyukur. Bagaimana bisa ia menolak keinginan Daeng Mangalle?

Marauleng menggertakkan gigi kesal. "Tetapi saya tidak bisa latihan dengan benar jika ada orang lain," ucapnya lagi yang sangat tidak mengharapkan kehadiran Daeng Mangalle di waktu-waktu latihannya.

"Itu sebabnya kau harus lebih giat berlatih. Sudah, ayo kita latihan lagi," ajak Malomo. Marauleng menurut tanpa mengatakan apa pun.

Berbeda dengan Marauleng yang tidak senang dengan kehadiran Daeng Mangalle, sang empu malah tersenyum lebar di sela-sela langkahnya kembali ke kerajaan Gowa.

"Tabe', Daeng Mangalle, apakah Anda yakin akan menemui mereka kembali dan melihat latihan yang mereka lakukan?" Uleng bertanya di sela-sela langkahnya.

Daeng Mangalle mengangguk. "Iya, Uleng. Saya merasa Malomo merupakan seseorang yang sangat hebat," balasnya sumringah.

Bersambung...

Laron Menerjang Sinar [Segera Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora