Bab 6 : Enggar

Beginne am Anfang
                                    

Enggar baru mengetahui alasannya setelah beberapa hari kemudian. Karena tidak sanggup menahan rasa penasarannya, remaja tanggung itu pun memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada pak Kamidi. Mumpung saat ini Mona tidak ada.

"Pak, kemarin saya melihat keponakannya Bapak menangis. Dia kenapa sih, Pak? Apa teringat orang tuanya yang sudah meninggal, ya?"

"Hus! Jangan sok tahu!"

"Lha ya keponakannya Bapak harus tinggal disini. Kemungkinannya kan dia sudah yatim piatu dan harus diasuh keluarga Bapak."

"Makanya sekolah yang bener, Tong. Biar nggak asal nebak."

"Pak, ini tidak ada hubungannya dengan saya rajin sekolah loh, ya." Enggar berdalih.

"Bapak beritahu kamu, tapi kamu nggak boleh ember ya."

"Iya."

"Janji loh!"

"Iya Bapake," jawab Enggar dengan meniru logat ngapak yang biasa ia dengar dari teman sekolahnya anak pindahan dari Purwokerto.

Pak Kamidi mengembuskan napas berat. Sebenarnya ia tidak ingin menceritakan kisah Mona. Tapi kedepannya pasti akan menjadi buah bibir juga di kampung mereka. Pak Kamidi membutuhkan seseorang yang bisa membantunya membela Mona. Dan sepertinya Enggar bisa melakukannya.

"Mona itu anak yang bapak tolong saat dia hendak bunuh diri di sungai itu." Tangan pak Kamidi menunjuk ke arah jembatan yang berjarak beberapa puluh meter disebelah bengkelnya.

"Apa, Pak? Bunuh diri," tanya Enggar dengan nada tidak percaya.

"Mona itu korban pemerkosaan, Nggar. Dia hamil dan diusir oleh kedua orangtuanya. Dia putus asa dan mencoba bunuh diri dengan terjun di sungai itu. Untung saja bapak melihatnya. Bapak langsung ikut terjun sebelum tubuhnya hanyut semakin jauh. Alhamdulillah dia selamat. Dan sekarang Moba menjadi putri kami. Tuhan maha baik. Kami yang sudah puluhan tahun menikah tapi belum juga dikaruniai momongan. Akhirnya diberi anak yang berbonus cucu sekaligus."

Enggar mendengar cerita pak Kamidi hingga lupa menutup mulutnya.

"Mengapa Bapak tidak cerita ke saya sejak awal?"

"Bapak kan takut kamu ember. Kasihan Mona. Kami tidak mau mentalnya semakin lemah karena omongan tetangga."

Enggar menelan ludahnya. Pak Kamidi benar sekali. Warga kampung mereka itu suka sekali bergunjing. Jika warga mengetahui siapa Mona, pasti akan menjadi trending topik selama beberapa hari.

"Ya sudah begitu saja. Pokoknya kamu harus menjaga rahasia ini loh, Tong."

Sejak hari itu hidup remaja tanggung itu berubah. Meskipun sudah tahu masa lalu kelam Mona, namun anehnya Enggar justru ingin semakin mengenal dan dekat dengan perempuan itu.

"Selamat pagi menjelang siang, Mona..." sapa Enggar dengan nada merdu merayu. Mona mencondongkan tubuhnya ke belakang dan menatap Enggar dengan wajah sinis. Ia tidak suka melihat pemuda yang sok kenal dan sok akrab itu menyapa dirinya.

Dengan cuek Mona duduk tanpa membalas sapaan Enggar. Tiba - tiba sebatang cokelat bermerek diletakkan di pangkuannya.

"Buat teman nongkrong di bengkel," cengir Enggar yang kemudian sudah asyik dengan motornya.

Mona mengerucutkan bibir. Lagi - lagi pemuda yang bernama Enggar itu membolos sekolah. Mona saja ingin bisa sekolah, masa Enggar justru membolos. Kemudian Mona menatap coklat bermerek yang baru saja ia terima. Entah mengapa air liurnya hampir menetes saat melihat makanan tersebut. Padahal Mona tidak menyukai cokelat batangan.

Mona melupakan rasa gengsinya. Ia segera berdiri dan meletakkan cokelat tersebut di lantai kemudian melompatinya sebanyak tujuh kali. Kemudian baru membuka kemasan dan memakannya.

Enggar yang melihat tingkah laku Mona hanya bisa melongo.

"Ngapain pake dilompati, toh akhirnya cokelatnya kamu makan juga," Enggar tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Mona melirik Enggar dengan sinis. "Masa kamu nggak tahu," jawab Mona ketus.

"Kan justru kotor?"

"Ya enggak, lah. Kan masih di dalam bungkusnya."

Enggar menepuk dahinya. Ia kalah debat dengan bumil cantik di hadapannya.

"Memangnya itu tadi ritual apa?" Enggar mengulang pertanyaannya. Daripada ia tidak bisa tidur semalaman karena penasaran, lebih baik bertanya langsung sekarang. Mumpung ada kesempatan untuk bisa mengobrol dengan Mona.

Mona menoleh ke arah Enggar. Keasyikannya menikmati cokelat jadi terganggu.

"Itu tadi untuk menghilangkan japu - japu."

Jawaban Mona membuat Enggar tertawa terbahak - bahak. Kalau boleh jujur bukan Enggar yang memberi mantra gaib pada cokelat yang ia berikan untuk Mona. Tapi justru dirinya lah yang sudah jatuh dalam sihir bumil cantik tersebut.

Ternyata Enggar sangat gigih bisa mengakrabkan diri dengan Mona. Di lain waktu ia sengaja bersembunyi ketika gadis itu datang ke bengkel dan menepuk pundak Mona untuk mengajak bercanda.

Tepukan itu membuat Mona terkejut, detik berikut ia berdiri dan melayangkan pukulan membabi - buta ke arah Enggar.

Enggar menangkis pukulan Mona sambil berusaha menenangkan gadis itu. Syukurlah pak Kamidi bisa menenangkan kekalutan Mona.

Mona menangis. "Huhuhu..., Mona takut, Pak."

"Iya, tenang ya, Nak. Tidak apa - apa. Kamu jangan takut, Bapak akan melindungimu."

Malamnya Enggar datang ke rumah pak Kamidi. Ia bermaksud meminta maaf pada Mona.

"Bapak lupa memberi tahu kamu. Gara - gara kejadian buruk yang pernah menimpanya, Mona akan seperti itu jika ada seseorang yang menyentuhnya dari belakang."

TBC

Edisi kepepet BU. Dijual murah stok buku terakhir. Setelah buku habis nggak akan ada cetak ulang. Yuk monggo di keep. Harga 45k aja / buku.
Minat chat me di 089509913584

Penulis yg asli yang lebih butuh uang royalti ketimbang pembajak ya, Cyn. 😁✌️

M.E.LWo Geschichten leben. Entdecke jetzt