Bahu Wening melengkung turun. Bapak bukan lelaki yang mudah mengalah dalam negosiasi meskipun dengan anak sendiri, tetapi Wening harus mencoba semampunya. Gadis itu segera merapikan semua pemberian Mas Bagus.

💌

Seperangkat alat salat berbahan katun sutra, satu set kebaya putih gading penuh payet, seperangkat kit riasan berbentuk koper mungil berbahan aluminium, dan sepasang sandal manis berhias mutiara dengan hak 5 cm. Ketika semua itu dimasukkan ke kamar oleh Bapak dan Ibu, Wening hanya bisa berdiri melongo di pintu.

Belum berhenti di situ, Bapak mengangkut satu bingkisan besar berisi aneka camilan yang disusun sedemikian hingga menyerupai bingkisan hari raya. Kemudian, barulah Ibu menutup pintu. Tiba-tiba Wening merasa kamarnya menjadi sesak.

"Dilihat dulu, Ning. Kalau ada yang kamu ndak cocok, nanti Bapak tukar ke tokonya di Malang Plaza alun-alun," begitu kata Bapak, sambil duduk di kursi belajar.

Pandangan Wening memindai barang-barang itu satu-persatu tanpa menyentuhnya, lalu berakhir di senyuman Bapak yang tetap hangat meski bermandikan keringat. Bapak bahkan belum sempat bersiap-siap untuk prosesi siraman.

Bagi Wening, semuanya tidak cocok. Jika boleh, Wening ingin meminta stetoskop Littmann yang terbaik, sebab selama ini dia harus bersabar menunggu giliran menggunakan stetoskop bersama inventaris lab. Pasti lebih mudah jika dia membawa stetoskop sendiri. Atau setidaknya Wening ingin bilang bahwa beberapa scalpel dan pinsetnya hilang saat bedah kadaver. Namun, Bapak pasti marah jika tahu peralatan itu hilang karena kebiasaan Wening meminjamkan barang kepada teman yang butuh.

Sekali lagi, gadis itu memandangi semuanya sebelum memutuskan sesuatu. "Ehm, Wening ambil mukenanya saja boleh, Pak? Lumayan buat salat hari raya."

"Mukena saja?" Kening Bapak berkerut.

Wening buru-buru menambahkan sambil menunjuk bingkisan. "Sama kuenya. Wening mau kuenya." Setidaknya camilan itu bisa dia bawa ke kelas, pasti ludes dalam sekejap.

"Sing liyane piye [Yang lainnya bagaimana]?" Kerutan di kening Bapak bertambah.

Wening melirik Ibunya yang hanya bergeming pasrah, sebelum memberanikan diri untuk menggeleng. Samar dan sopan. "Wening ... ngapunten, Pak, tapi Wening ndak ada waktu buat memakai itu semua. Apa ndak bisa dikembalikan saja? Nanti Wening sendiri yang bawa ke tokonya, ngapunten, Pak ...."

Keheningan panjang memenuhi kamar. Hanya suara-suara aktivitas di luar kamar yang terdengar.

Bahu Bapak melengkung turun diiringi embusan napas panjang. Bapak mengusap peluh yang menuruni dahinya, dan Wening hanya sanggup menundukkan kepala, berkubang dalam rasa bersalahnya sendiri.

"Nduk," panggil Bapak pelan, "kamu ndak melakukan ini buat dirimu sendiri. Tapi buat Yasmin. Buat adikmu yang butuh restu dari keluarga kita, terutama dari para sesepuh. Semua seserahan ini mau kamu apakan setelahnya, monggo, Nduk. Bapak ndak melarang, ini semua sudah jadi hakmu."

"Mau dikembalikan ke toko atau dijual lagi boleh, Ning," tambah Ibu.

Wening mengangkat wajahnya dan tersenyum samar.

"Pak, Bu, sebenarnya Wening ini ndak keberatan dengan seserahan. Cuman, Wening rasa ndak perlu sampai membuat Yasmin sungkem berlutut di kaki Wening, apalagi dilihat semua orang seperti itu. Kalau tujuannya supaya keluarga dan para sesepuh ngerti Wening ini ikhlas dilangkahi Yasmin, apa ndak ada cara lain, Pak, Bu?"

Bapak terdiam, tampaknya mempertimbangkan ucapan putri sulungnya. "Wis, kamu maunya piye, Ning?"

"Apa saja yang ndak melibatkan Yasmin. Biar Wening saja yang mengerjakannya. Mungkin Wening boleh ikut ngasih kata-kata sambutan setelah Bapak? Nanti Wening susun teks pidatonya, singkat saja."

Kurirasa 1990Where stories live. Discover now