Runa melipat tangannya di depan dada sembari matanya menatap lurus ke depan. Jam hampir menunjukkan pukul delapan, tapi tidak ada tanda-tanda Devan akan bangun. Sudah dari setengah jam yang lalu Runa berusaha membangunkan Devan, tapi laki-laki itu malah menyuruhnya bersiap-siap lebih dulu. Begitu Runa sudah selesai mandi dan bersiap, belum juga ada tanda-tanda Devan akan bangun dari tidurnya.

Runa menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian ia berjalan ke kasur dan duduk di tepi kasur. Awalnya Runa masih ingin berusaha membangunkan Devan lagi. Begitu melihat wajah Devan yang sedang tertidur nyenyak, membuat Runa jadi tidak tega. Wajah Devan terlihat begitu kelelahan. Menurut informasi yang didapat dari Almira, laki-laki itu nekat datang ke Jogja setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Runa sendiri belum begitu mengerti alasan Devan jauh-jauh menyusulnya yang sedang berlibur, padahal ia tahu betul kalau banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Devan.

Karena tidak ingin mengganggu tidur Devan, akhirnya Runa memilih duduk di sofa sembari bermain ponsel. Kurang lebih setengah jam kemudian, Runa mendengar lenguhan pelan dari arah kasur. Padangannya dari ponsel langsung beralih ke kasur, melihat Devan yang mulai terbangun dan duduk bersadar di headboard.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Devan sembari menguap lebar.

Runa mendelik mendengar pertanyaan Devan yang dilayangkan dengan wajah tanpa dosa itu. "Nungguin Mas Devan bangun," jawabnya sinis.

"Kenapa nggak bangunin aku kalo kamu udah siap?" tanya Devan dengan suara serak, khas bangun tidur.

Runa bangun dari sofa yang didudukinya dan berjalan ke arah kasur. Ia langsung duduk di pinggir kasur, dan menatap lurus ke Devan. "Aku udah bangunin Mas Devan, tapi Mas Devan malah nyuruh aku mandi sama siap-siap." Runa diam sebentar, sebelum akhirnya melajutkan. "Selesai siap-siap, aku berniat mau coba bangunin Mas Devan lagi."

"Terus, kenapa kamu nggak bangunin aku?" sela Devan cepat.

"Karena aku nggak tega."

"Hah?" Devan menggaruk kepalanya dengan wajah kebingungan.

"Mas Devan kayak nyenyak banget tidurnya. Semalem wajah Mas Devan juga kayak capek banget dan kurang tidur. Aku nggak tega bangunin Mas Devan yang kelihatan emang butuh tidur."

Devan menghela napas pelan. Ia merasa bersalah saat ini. Tak bisa dipungkiri perkataan Runa memang benar. Tubuhnya memang lelah setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di Surabaya sebelum akhirnya bisa menyusul Runa ke Jogja.

"Jujur sama aku, sebenarnya Mas Devan ngapain bela-belain nyusul aku ke Jogja kalo emang punya banyak kerjaan?" tanya Runa menatap Devan dengan tajam.

Devan diam.

"Mbak Almira bilang kalo Mas Devan rela nyelesaiin semua kerjaan sebelum terbang ke sini. Mas Devan rela naik pesawat biar cepat sampai ke Jogja."

"Naik pesawat biar nyaman dan nggak terlalu lama di jalan," sahut Devan mengoreksi.

Runa mengibaskan tangan kanannya. "Jawab dulu pertanyaanku. Jangan alihin pembicaraan ke topik lainnya!" serunya kesal.

"Aku emang mau nyusulin kamu ke sini."

"Kenapa?" tanya Runa cepat. "Bukannya dari awal Mas Devan bilang nggak bakal nyusulin aku ke sini karena Mas Devan banyak kerjaan. Sekarang kenapa tiba-tiba Mas Devan muncul di Jogja?"

"Karena aku khawatir."

"Khawatir apa?" tanya Runa lagi. "Aku kan baik-baik aja di Jogja. Apa yang perlu dikhawatirin?"

"Karena kamu sempat masuk rumah sakit tanpa ngasih tau aku," sela Devan. "Aku kan udah bilang untuk selalu ngabari kondisimu di sini. Masa aku baru tau kamu ke rumah sakit dari Almira. Kalo bukan Almira yang ngasih tau, aku nggak bakal tau kalo kamu sempat ke rumah sakit dan dapat jahitan di dahimu," lanjutnya dengan mengomeli Runa.

Runa langsung menunduk. "Ini kan bukan hal yang perlu dibesar-besarin. Kondisiku juga baik-baik aja," ucapnya dengan suara pelan.

"Kenapa nggak ngasih tau aku kalo kamu jatuh dan sempat ke rumah sakit?"

"Aku pikir ini hal kecil, jadi aku nggak mau bikin Mas Devan khawatir."

"Tapi kamu berhasil bikin aku khawatir setelah tau kabar itu dari Almira," sahut Devan menggeram pelan.

Runa berdecak pelan. "Padahal Mbak Almira udah janji nggak bakal bocorin masalah ini ke Mas Devan," gerutunya dengan suara pelan.

Devan menghela napas lelah saat telinganya mendengar gerutuan dari Runa.

"Mas Devan beneran khawatir sama aku?" tanya Runa mengangkat pandangannya menatap Devan. "Nggak kayak biasanya Mas Devan khawatir sama aku," gumamnya pelan.

Devan melipat kedua kakinya menjadi bersila. "Emang aku nggak boleh khawatir sama kamu?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Runa menjadi terdiam.

"Aku suamimu. Wajar kalo aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu," ucap Devan dengan tenang. "Emang aku nggak boleh khawatir sama kamu?" tanyanya lagi.

Runa mengerjapkan matanya. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Ke- kenapa Mas Devan khawatir sama aku?" tanyanya dengan terbata-bata.

Devan mengedikkan bahu. "Nggak tau. Aku juga bingung kenapa bisa khawatir sama kamu."

Satu pemikiran tak nasuk akal melintas di pikiran Runa secara tiba-tiba. "Mas Devan nggak mungkin tiba-tiba jatuh cinta sama aku kan?" tanyanya dengan tertawa pelan. Runa merasa lucu dengan pertanyaan yang baru saja ia ajukan.

Devan seketika langsung terpaku mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Runa. Meski terlihat pertanyaan itu diajukan dengan nada bercanda, justru membuat Devan kepikiran.

"Nggak mungkin juga Mas Devan tiba-tiba jadi lurus dan suka sama aku. Kita aja baru nikah beberapa bulan," ucap Runa lagi. Masih dengan sisa tawanya.

"Emang kalo aku udah ngerasa suka sama kamu nggak boleh, ya?"

Runa langsung terkejut mendengar ucapan Devan. "Hah?"

Devan memberanikan diri mencium bibir Runa. Awalnya perempuan itu masih menutup bibirnya karena saking terkejutnya dengan ciuman Devan yang tiba-tiba. Sampai akhirnya Devan merasa senang karena Runa mulai membalas ciumannya.

Begitu tersadar, Runa langsung melepaskan ciumannya dan sedikit mendorong bahu Devan menjauh. "Mas Devan benar-benar udah lurus?" tanyanya tak percaya.

Devan yang ditanya seperti itu jelas kebingungan. Ia sendiri tidak bisa mengerti apa yang sedang dirasakan. "Aku nggak tau," jawabnya jujur.

"Mas!" seru Runa kesal. Ia merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Devan.

"Yang aku tau, aku nggak bisa jauh dari kamu. Aku ngerasa hampa tinggal sendiri di apartemen tanpa ada kamu. Aku ngerasa kesepian karena nggak ada kamu yang selalu cerewet. Dengar kabar kamu sempat ke rumah sakit bikin aku panik dan pingin nyusulin kamu ke sini," ucap Devan mulai menjelaskan. "Aku nggak tau, apa itu cukup untuk dikatakan cinta?" tanyanya akhirnya.

Runa bukannya menjawab, malah mendekatkan wajahnya dan memberanikan diri mencium bibir Devan. Kedua tangannya melingkar di belakang leher Devan. Runa yang merasa tindakannya terlalu jauh, ia berusaha untuk menjauh. Saat ia hendak menjauh, Devan malah menahannya. Satu tangan Devan sudah berada di belakang kepalanya dan satu lagi di punggungnya. Bibir mereka saling bertaut, saling memuaskan satu sama lain.

***

Sorry for typo and thankyou for reading

Author Note:
Ini kan yang kalian tunggu? Wkwkwk... Maaf ya kalo aku baru update sekarang. Semoga kalian suka sama bab ini.

Mungkin feel-nya kurang dapet karena aku udah lama banget nggak nulis. Harap dimaklumi ya, hehehe...

Conquered Mr. Gay [Completed]Where stories live. Discover now