Awal

27 17 12
                                    

Bogor dan hiruk pikuknya tidak serta merta mengalihkan lamunan Biru yang terduduk sendiri di pinggir lapangan basket perumahan sebelah ia tinggal.

Rasya memandang lelah kegiatan Biru yang sedari tadi hanya termenung dan sesekali menghela napas berat. Padahal, di depannya sedang ada beberapa orang yang berlatih tenis. Dan, Biru seperti sama sekali tidak terganggu.

"Mimpi buruk lagi?" Tanyanya berinsiatif memecah keheningan di antara mereka berdua.

Biru hanya melirik sekilas dan menganggukkan kepalanya singkat. Disitulah Rasya kembali kebingungan. Harus mencari ide bagaimana lagi untuk membangun percakapan dengan cowok di sebelahnya ini? Apakah mereka akan tetap berdiam diri tanpa interaksi berarti sampai lapangan ini sepi? Tidak juga, bukan?

Rasya tahu tentang apa yang di alami Biru belakangan. Dan, dia juga yang menemani Biru menghadapi itu semua. Meskipun hanya seperti sekarang ini. Duduk termenung berdua, berbicara ala kadarnya, sampai Biru puas dengan kegiatan mereka.

Sebenarnya Rasya juga lelah jika setiap waktu harus melihat, mendengar dan ikut bersimpati dengan keadaan Biru. Tersinggung sedikit, Biru pasti akan marah. Sedih sedikit, Biru akan berdiam diri dengan air mata yang mengalir di pelupuknya. Atau bahkan, jika ada yang membuat dia sedikit putus asa, Biru akan merasa dirinya tidak berguna dan ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga.

Setelah kejadian itu, Biru memang sangat sensitif terhadap lingkungannya. Dia tidak suka tersenggol. Rasya yang sebagai teman baik dan tetangganya itu hanya bisa berusaha pintar-pintar untuk menjaga perasaan Biru.

.....

Rasya dan Biru sudah berteman sejak lama. Tepatnya, ketika mereka kelas lima SD. Setahun setelah kepindahan Biru dari Pulau Kalimantan. Jangan kalian kira Biru dulu yang mendekati Rasya. Atau jangan berpikir jika perkenalan mereka manis.

Mereka dipersatukan setelah keduanya terlibat baku hantam ala anak sekolah dasar. Rasya yang saat itu tidak sengaja menumpahkan es cokelat di sepatu Biru, membuat pemilik sepatu marah dan kemudian memukul Rasya yang sedang berusaha membereskan kekacauan dan meminta maaf pada Biru.

Setelah bertengkar, keduanya di sidang di ruang guru dan di tuntut untuk saling bermaafan saat itu juga. Rasya sih dengan mudah mengulurkan tanganya dan menggumamkan maaf karena dia sadar ini semua di picu karena kesalahannya.

Beda lagi dengan Biru yang masih bersungut-sungut karena sepatunya menjadi anyep. Meski begitu, dia tetap membalas uluran tangan Rasya dengan setengah hati.

Di sekolah menegah pertama pun, mereka di satukan kembali meskipun lagi-lagi Biru harus berpindah kota dahulu selama satu tahun di kelas dua. Rasya selalu ingin berkenalan dengan Biru, meski respon anak itu terkadang membuat nyali Rasya menciut.

Lagipula, keduanya memiliki sifat yang cukup bertolak belakang. Biru yang irit bicara, ketus, dan dingin. Sedangkan Rasya, suka bicara, ramah dan serba ingin tahu.

....

Di tengah usaha Rasya yang lumayan kesusahan untuk mendekati Biru, datanglah seorang kakak kelas satu tingkat di atas mereka yang juga mencoba mendekati Biru.

Usut punya usut, ternyata kakel itu sedikit memiliki dendam pada Biru dikarenakan Biru tidak sengaja menubruk kakel tersebut di koridor sekolah saat MPLS yang mengakibatkan isi kado yang di bawa orang itu hancur berserakan. Dan, tidak bisa lagi ia berikan pada sang Nenek sebagai hadiah ulang tahun.

"Lo, Biru?" Tanya kakel itu tiba-tiba saat mereka sedang berada di perpustakaan.

"Iya. Kenapa?"

"Kenalin, Gue Samudera Alpha. Gue orang yang waktu itu lo tabrak di koridor. Inget?" Tanya Samudera sambil menaikan satu alisnya dan mengulurkan tangan pada Biru yang hanya menatap uluran tangan Samudera tanpa niat.

"Ya." Jawab Biru singkat.

"Ya? Lo cuman bilang itu setelah apa yang lo lakuin ke gue? Gitu? Lo tau? Gue bawa barang yang cukup berharga nilainya buat gue. Lo rusakin barang itu dan lo cuman bilang, 'ya'?"

Biru menghela napas kesal, "Gue minta maaf. Puas?" Katanya sembari beranjak meninggalkan Samudera dan Rasya yang terbengong di sana.

Rasya melihat tatapan mata Samudera yang terlihat ingin menerkan apapun dk depannya. "Kak, maafin temen saya ya? Dia emang ceroboh gitu."

"Lo temenya?" Samudera menelisik Rasya dari atas sampai bawah. Dan Rasya hanya bisa mengangguk karena dia ingat, bahwa dia dan Biru belum sah menjadi teman. Teman sih, tapi cuma sepihak.

"Ohh... Lo nggak perlu minta maaf untuk perbuatan temen lo itu kok. Kan dia yang salah, bukan lo. Oh iya, kenalin gue Samudera dari kelas 8A."

"Eh? Iya kak. Saya Rasya. Tahfi Rasya Bianjani dari kelas 7C. Sama kayak Biru." Jawab Rasya tak kalah ramah dari kakak kelasnya itu.

"Lo udah lama temenan sama Biru?" Tanya Samudera penasaran.

Yang ditanya hanya bisa tersenyum kecut, "Sebenernya kita belum sah temenan sih, kak. Saya aja yang mengakui dia sebagai teman saya. Tapi Biru masih nggak bisa terima kalau punya temen kayak saya kayaknya."

Samudera menggelengkan kepalanya gemas. Kalau di lihat-lihat, Rasya adalah anak yang baik dan ramah. Cocok untuk di jadikan teman baik untuk menyalurkan energi positif. Kenapa Biru tidak mau membuka ruang untuk Rasya, ya? Pikir Samudera.

Beberapa hari kemudian, Samudera dan Rasya menjadi akrab. Samudera sering mengajak Rasya untuk bermain basket atau sekedar mengobrol santai dengan beberapa teman Samudera juga. Untungnya, Rasya sama sekali tidak keberatan dan malah terlihat bahagia. Sesekali, dia juga tidak lelah mengajak Biru untuk bergabung meski jarang sekali di tanggapi.

Samudera mengutarakan pikiranya pada Rasya jika dia ternyata juga sedikit tertarik dengan Biru yang sulit untuk di sentuh. Meski masih ada sedikit dendam untuk masalah tabrak menabrak di koridor waktu itu.

Bulan demi bulan mereka berdua tidak mengenal lelah untuk mendekatkan diri pada Biru. Namun hadilnya tetap sama. Biru tidak mau membuka diri untuk siapapun. Yang akhirnya, membuat Samudera dan Rasya sedikit mundur untuk memberikan keleluasaan pada Biru yang memang tidak mau di ganggu.

Hingga suatu ketika, Samudera yang baru saja selesai mengganti baju olahraganya dengan seragam lain, melihat Biru yang terburu-buru masuk ke toilet dan lagi-lagi tidak sengaja menyenggol bahu Samudera.

Dilihatnya Biru yang masuk ke salah satu bilik kamar mandi itu. Dan entah kenapa, Samudera malah mengurungkan niatnya untuk kembali ke kelas dan menunggu Biru.

Lima menit berlalu, namun Biru tidak juga keluar. Samudera berkali-kali menilik bilik yang dimasuki Biru. Seperti tidak terasa ada kehidupan di sana. Sampai Samudera memutuskan untuk menunggu lima menit lagi.

Sepuluh menit, dua belas menit. Dua menit di gunakan Samudera untuk menimang-nimang niatnya. Apakah dia akan mendobrak pintu itu? Bagaimana kalau Biru sedang buang air besar? Tapi, ke apa tidak ada suara? Bagaimana jika ternyata Biru sedang sakit lalu pingsan di dalam? Dia kan seperti batu hidup. Enggan berbicara untuk hal yang tidak penting. Siapa tahu, dia sakit tapi tidak berkata apapun pada siapapun.

Samudera mengumpulkan nyali dan berdiri di depan bilik itu. "Biru!! Lo masih lama?"

Hening.

"Biru! Cepetan. Gue mau berak!! Kalau lo lama, gue dobrak ini!" Teriak Samudera. Untungnya di toilet itu, hanya ada mereka berdua jadi tidak terlalu mengganggu orang lain.

Satu menit berlalu lagi. "Oke! Gue dobrak ini!"

Satu... Dua... Tiga...!!

Brukk!! Brukk!!

Di dobraknya pintu bilik itu sampai terbuka. Mata Samudera terbelalak kaget melihat keadaan Biru yang mengejutkan hatinya.

"Eh? Ru! Biru!!

.....

KONSTALASI AURIGA

Jangan lupa vote dan komen ya guys. Mohon maaf untuk kesalahan pengetikan atau tata bahasa. Nanti akan author benarkan. Maaf juga tidak terlalu memuaskan karena aku juga masih belajar hihihi

Konstelasi AurigaWhere stories live. Discover now