77 - Terpisah Sementara

Start from the beginning
                                    

"Ada pesawat yang lagi pushback, Nak!" seru Candra seraya menunjuk pesawat yang sedang didorong mundur menggunakan semacam traktor kecil. "Pesawat itu nggak bisa mundur sendiri, Sayang. Jadi, harus dibantu dari bawah. Nanti traktor kecil itu bakal menarik mundur pesawat keluar dari tempat parkir sampai landasan pacu. Terus yang nyetir traktornya itu akan komunikasi terus sama pilot sampai selesai."

Daripada menyaksikan pesawat itu, Xania justru menatap ayahnya tanpa kedip. Seolah-olah mencoba memahami penjelasan dari sang ayah. Melihat tingkah anaknya, Candra tersenyum. Memang secara fisik anak ini mirip dirinya, tetapi tingkah lakunya persis seperti Melisa. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan karena Xania masih bayi. Namun, Candra tidak bisa berbohong ada sifat Melisa yang menempel di dalam diri anak ini.

"Buh!" seru Xania seraya tangannya menunjuk jendela besar. Candra mencium pipi Xania.

"Ayah tinggal sebentar nggak apa-apa, ya. Kamu nggak boleh nakal, ya. Jangan bikin Mama susah."

"Abu."

"Nanti kalau tinggal di rumah baru, Ayah beliin mainan baru, ya. Tapi, kamu jangan nakal."

Pengumuman boarding untuk penerbangan tujuan Jakarta pun terdengar. Ini momen paling mendebarkan. Sebenarnya Candra tidak rela berpisah dengan anaknya. Berat meninggalkan Melisa dalam keadaan hamil. Andai bisa, Candra ingin mengajak mereka sekarang. Akan tetapi, pindah tempat juga butuh proses. Tidak bisa seenaknya.

"Sekarang Xania lihat pesawatnya sama Mbak Desi, ya."

Xania mau saat dipindahkan ke tangan Desi. Namun, ketika tahu ayahnya akan pergi, Xania mulai merengek dan memberontak. Desi kemudian membawa Xania jalan ke tempat lain.

Sementara itu, Melisa mulai berpamitan dengan Sarina.

"Ibu di sana baik-baik, ya. Jangan bikin Mbak Lala sama Mas Candra susah. Pokoknya jangan aneh-aneh."

"Kamu seneng, kan, Ibu pergi?"

"Ya ... kalau Ibu doang yang pergi, Mel seneng banget, Bu! Kayak surga dunia itu ada di depan mata."

Sarina menatap tajam, sementara Melisa meringis. Tangannya melambai menyentuh bahu Sarina.

"Bercanda, Bu. Jangan masukin hati. Damailah kita. Mau punya cucu tiga, nih, Bu," kata Melisa seraya mengelus perutnya.

Sarina tidak membalas. Karena itu pula Melisa meraih tangan ibu mertuanya untuk dicium.

"Kalau pesawatnya mau naik, Ibu berdoa yang banyak. Kena turbulensi itu nggak enak, Bu."

"Kamu jangan aneh-aneh. Jangan karena anakku tinggal jauh, kamu bisa seenaknya main sama laki-laki lain."

Melisa tersenyum demi menahan tawanya. "Ngomong sama Ibu nggak ada habisnya. Udah, ah, Mel mau peluk-pelukan sama anak Ibu yang perkasa."

"Gilani!"

Melisa melengos pergi, menghampiri Candra yang sejak tadi menunggunya. Sama seperti Sarina barusan, Melisa mencium tangan suaminya. Namun, mulutnya tidak mengeluarkan satu kata pun karena bola matanya mulai memanas. Tenggorokannya tercekat.

"Kamu sehat-sehat, ya. Aku nggak mau denger kamu kenapa-napa di sini." Candra mengelus kepala istrinya.

Diperlakukan seperti ini, Melisa tidak bisa menahan diri lagi. Untuk menyembunyikan tangisnya, Melisa merengkuh tubuh Candra, menyandarkan kepalanya di dada.

"Sebentar, ya, Mas."

Candra mengangguk seraya mengusap punggung Melisa. Padahal, hanya dua bulan, tetapi kenapa rasanya seperti ditinggal bertahun-tahun? Padahal sering meninggalkan Melisa terbang ke berbagai negara, tetapi kenapa rasanya begitu berat? Candra terpaksa merelakan melewati perkembangan Xania selama dua bulan ke depan. Dia akan menjadi orang terakhir yang mendapat kejutan dari Xania.

Belum ada lima menit, Melisa melepas pelukannya. Kemudian, menyeka air mata yang telanjur keluar. Setelah itu, dia mencium tangan Candra lagi. Kali ini, Candra membalasnya dengan mengecup kening, kedua pipi, dan bibir Melisa, lalu turun untuk mengelus dan mencium perut istrinya.

"Sehat-sehat di sana, ya, Nak. Dua bulan kita ketemu lagi."

Tidak mau menangis lagi, Melisa beralih ke arah Mbak Lala. Mereka bersalaman sebentar.

"Titip Ibu sama Mas Candra, ya, Mbak."

"Iya, Mbak. Mbak juga hati-hati, ya, di sini."

"Jangan lupa kabarin kalau udah sampai. Mel pantau, lho, dari flight radar."

Melisa justru balik badan saat Candra, Sarina dan Mbak Lala melangkah menuju boarding gate. Dia tidak mau menyaksikan mereka terus menangis lagi. Sungguh bagian paling berat ketika berpisah dengan orang-orang yang disayang, meskipun hanya sementara. Melisa dipaksa tegar dengan keadaannya sekarang. Ya, suka tidak suka Melisa harus menjalaninya, kan?

 Ya, suka tidak suka Melisa harus menjalaninya, kan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Halo, di Karyakarsa udah sampai bab 82 lho. Yang mau baca part 81 & 82 bisa pakai voucher ini ya: SatnightbarengXania.

***

Santai dulu ya. Habis ini bakal ada ....

Hi, Little Captain! [END]Where stories live. Discover now