Intro : Walk the Line

14 12 2
                                    

"Udah bangun?"

"..."

"Sarapan dulu!"

"..."

"Nanti pulang sekolah dijemput pak Mamet. Habis itu ke butik mama, ada yang mau mama omongin."

"..."

"Vivie! Kamu dengerin mama gak sih?"

"Aku bakalan dengerin mama, kalo mama balikin kunci motor aku."

Wanita paruh baya yang masih tampak muda itu pun akhirnya menyerah. Sudah sejak pagi ia mencoba melatih kesabaran menghadapi putrinya itu. Namun sepertinya gadis bersurai panjang itu enggan untuk mengindahkan perkataannya.

Masih dengan pendiriannya, wanita yang dipanggil 'mama' itu tetap duduk di kursinya dan melanjutkan sarapan dengan tenang. Mengabaikan tatapan putrinya yang sedari tadi mengharapkan kunci motornya yang ia sita beberapa hari ini.

"Oke. Kalo mama gak mau ngasih, aku juga gak akan mau diantar-jemput pak Mamet."

Gadis tinggi bernama Vivie tersebut lanjut berjalan keluar sembari mendial nomor seseorang.

"Masih disita?"

"Gak usah basa-basi. Cepetan jemput gue!" Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicara, Vivie mematikan panggilannya secara sepihak.

Dan tak sampai lima menit, seseorang yang ia telepon tadi sudah berada di depan mansion keluarga Lexham dengan satu helm di tangan kirinya.

"Ini, helm l--"

"Ayo Ga! Gue ada ulangan pagi ini."

Tak perlu banyak basa-basi, Vivie langsung menaiki motor sport merah tersebut sembari mengenakan helm yang tadi disodorkan padanya. Membuat laki-laki si pemilik motor hanya bisa menghela napas pasrah. Sudah jadi rutinitasnya dijadikan babu seperti ini kala motor gadis itu disita sang mama.

***

Brakkk

Suara gebrakan meja membuat seluruh penghuni kantin menoleh. Hanny, selaku orang yang menggebrak meja tidak peduli dengan sekeliling. Ayahnya kepala sekolah di sini, tak akan ada yang berani melarangnya.

Netra legam Hanny terus fokus menatap Vivie di depannya seperti ingin membunuh.

"Lo gak lagi bercanda kan?" Ujar Hanny dengan nada tinggi. Vivie bahkan tidak melihat ke arah Hanny. Gadis itu sibuk dengan semangkok bakso kuah di depannya.

"Lo bahkan belum sembuh, Vie." Sahut Ohana, perempuan paling dewasa dan paling bijaksana di antara sekumpulan siswi elite tersebut.

"Sampai kapan pun juga gak bakalan sembuh, Na." Jawab Vivie lirih.

Semuanya terdiam untuk beberapa saat.

"Verga udah tau kalo lo kecelakaan malam itu?" Kali ini Lia yang bertanya, membuat Vivie menoleh.

"Verga? Kenapa dia harus tau?"

"Bukannya lo sama dia--akh"

"Sst! Lo apa-apaan sih Li?" Bisik Stella menginjak kaki Lia pelan, menghentikan gadis itu melanjutkan ucapannya.

Vivie meletakkan sendok dan garpunya. "Tanpa gue kasih tau, Verga juga tau alasan gue nebeng dia." Usai mengatakan itu, Vivie beranjak meninggalkan ketujuh temannya.

"Emangnya hubungan Vivie sama Verga tuh apa sih? Dibilang pacaran, tapi kaya Tom and Jerry. Dibilang temen, tapi saling tau satu sama lain." Heran Amber yang diangguki Lia.

"Sejak SD, Verga sama Vivie udah hidup bareng, saling paham satu sama lain. Keluarga mereka juga udah saling kenal." Ujar Tania yang sudah kenal Vivie sejak SMP. "Kalo Vivie turun ke arena, Verga selalu nemenin. Bener kata lo Am, mereka udah kaya orang pacaran." Lanjut Tania diakhiri kekehan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 07, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Let Me InWhere stories live. Discover now