Pak Arian menaikkan satu alis matanya. "Ya, kalau gitu jangan kabur."

Rayyan mengangguk. "Iya, Pak"

"Jangan-jangan Mas Rayyan dulu pernah ... hmm nyakitin Pak Wis?"

" .... "

"Nyakitin ... mungkin secara fisik atau mental?" tanya Pak Arian lagi.

Mendengar kata-kata itu, Rayyan malah mengingat kembali rasanya dicekik Pak Wis kemarin sampai napasnya hampir berhenti. Dia memejamkan mata sambil mengernyit.

"Mungkin." Rayyan bergeleng, tak tahu harus menjawab apa.

"Jadi tolong banget jujur, Mas Rayyan. Ada apa sebetulnya yang terjadi antara Mas Rayyan dan Pak Wis—"

Rayyan menjawab sebelum Pak Arian selesai bertanya, "Saya juga enggak tau, Pak."

Pak Arian mengernyit. "Enggak tau gimana?"

Rayyan menarik napas pelan, lalu membuangnya dengan pelan. "Saya enggak pasti, tapi ada kemungkinan kalau .... "

"Ya?"

"Ada kemungkinan kalau Pak Wis dan saya pernah satu sekolah. Satu SMA."

"Terus?"

"Tapi saya enggak terlalu ingat."

"Kenapa gitu?"

"Karena .... "

Karena Rayyan tak mau mengingat masa-masa itu, masa ketika ia begitu terpuruk dengan kejatuhan sang ayah, dilucuti dari harta benda, putus sekolah.

Ketika semua orang pergi meninggalkannya.

Cuma yang pahit saja yang Rayyan ingat.

"Terus? Oke, jadi Mas Rayyan dulu pernah satu sekolah sama Pak Wis, dan dulu Mas Rayyan pernah ada masalah sampai putus sekolah dan seterusnya."

"Kurang lebih seperti itu."

"Kalo gitu harusnya Mas Rayyan ini korban bully di masa lalu atau sekarang. Terus, kenapa malah Pak Wis yang dendam nyi pelet ke Mas Rayyan? Kira-kira Mas Rayyan tau alasannya? Selama gue kenal Pak Wis, ini pertama kalinya dia begitu."

Rayyan diam sebentar, tertunduk. Tangannya tanpa sadar mengepal.

"Saya coba ingat-ingat lagi nanti." Rayyan memalingkan wajahnya ke samping. "Pak Arian ada gitar?"

Pak Arian mengernyit. "Buat?"

"Kalau ada gitar mungkin saya bisa ingat."

Pak Arian menghela napas berat. "Mas Rayyan, gue serius. Gue mau kalian selesain masalah kalian. Gue bakal jadi pihak ketiga, perantara."

"Maaf, Pak Arian, saya butuh waktu untuk ingat. Jadi, pertanyaan Bapak ini enggak bisa saya jawab sekarang."

"Memangnya Mas Rayyan ini pernah kecelakaan? Amnesia? Kebentur di kepala?"

Rayyan bergeleng.

Pak Arian menatap wajah Rayyan lumayan lama, penuh selidik, jelas ada rasa tidak percaya.

"Oke, kita atur waktu lagi nanti," kata Pak Arian. "Pak Wis enggak bakal ke kantor beberapa hari ini, jadi Mas Rayyan tetep kerja kayak biasa aja. Tolong renungkan dan diinget-inget, ya, Mas. Kasih tau gue segera biar gue bisa bantu beresin masalah kalian."

"Baik. Terima kasih, Pak." Rayyan menatap balik wajah kepala HRD-nya sambil menelan ludah.

"Ya sudah itu aja." 

Pak Arian berbalik hendak pergi, tetapi pria itu menghentikan langkahnya lagi.

Rayyan kembali menahan napasnya.

Tampan Berdasi (MxM)Where stories live. Discover now