⌕04 ♪Bima

10 4 2
                                    

Reza menatap dirinya lamat-lamat di dalam cermin, memperhatikan setiap jengkal dirinya di dalam sana. Akan tetapi, ia tidak bisa menerima sosok yang ada di balik kaca itu. Ia menghela napas panjang, lantas menutup kembali kaca tersebut dengan kain putih. Ia mengambil tas gitarnya serta kunci motor. Lalu pergi menuju studio musik yang dimaksud oleh kakak kelasnya itu, Sena.

Reza mengalami beberapa syok dalam satu waktu. Band juga magang. Hanya saja, untuk saat ini ia sudah memikirkan semuanya dengan baik-baik. Hal yang benar-benar ingin ia lakukan dengan serius adalah bermusik. Oleh karena itu ia akan melakukan yang terbaik untuk band tersebut dan memikirkan nanti tentang magangnya.

Sena dan Gamaliel berkata bahwa akan ada empat orang di dalam band. Akan tetapi, sampai saat ini Reza tidak mengetahui siapa anggota keempat itu. Sena berkata akan mengenalkannya hari ini. Oleh karena itu, hari ini, sabtu, mereka melakukan pertemuan dan pelatihan mereka sebagai band baru.

Reza sampai di sebuah studio musik yang cukup luas dengan tembok berwarna coklat. Ada banyak motor yang terparkir di sana. Mungkin karena penghujung minggu, di mana akan ada banyak orang yang latihan. Mungkin.

Reza terdiam cukup lama sampai pundaknya ditepuk pelan oleh gadis berambut jamur. Gadis itu menggunakan baju putih berlengan pendek sesikut, dan baggy jeans. Mau dilihat seperti apa pun, entah dengan seragam sekolah atau tidak, gadis itu benar-benar terlihat cantik.

"Ayo masuk, jangan bengong," ujarnya, sedikit mendorong punggung Reza yang lebar.

Kedua remaja itu berjalan santai melewati bagian administrasi dan memasuki ruangan bernomor 6. Di sana sudah ada 1 pemuda berbaju hitam dengan celana pendek selutut juga wajah yang masam.

"Chills, bro, telat 2 menit doang. Mana tuh, sohib lo?"

"Sorry telat, macet coy."  1 pemuda lainnya bersuara, itu bukan Gamaliel, melainkan orang yang baru tiba setelah Sena dan Reza. Ia terlihat hanya menggunakan jaket abu-abu serta celana pendek selutut. Di antara pemuda itu, hanya Reza yang menggunakan celana panjang.

Pemuda itu mengalihkan pandangannya dari wajah masam Gamaliel pada wajah yang baru pertama kali ia lihat. Namun, ia menyadari jika wajah baru itu bukan dari angkatannya.

"Buset, kalian ngajakin adek kelas? Yang bener ajalah, Mal." Pemuda itu bersuara, lalu berjalan mendekati Gamal yamg masih duduk di kursi drumnya.

"Makanya, kagak usah pake nyari masalah sampe diskorsing. Mau gak mau lo harus terima pilihan kami berdua," balas Gamaliel kesal ketika pilihannya dianggap remeh seperti itu.

"Gamal, Bima." Sena ikut bersuara. Ia menutup pintu lantas mendorong pelan Reza ke tengah ruangan supaya bisa ikut berbicara dengan anggota lainnya. "Reza udah di sini, kesepakatan kita selalu dari voting. Dan voting kali ini 2 suara untuk Reza yang gabung ke band, dan 1 yang gak. Jadi, kita clear, ya?" tambah Sena, yang membuat kedua pemuda itu terdiam seolah ditimpa tekanan berat.

"Karena kita udah lengkap, mungkin lo baru pertama kali liat dia. Dia Bima, anak kelas 12 jurusan perhotelan yang saat ini lagi diskorsing karena percobaan bolos kesekian kalinya melewati gerbang kebebasan. Posisinya basis. Untuk vokal aku, tapi Bima juga kadang-kadang ngisi vokal dan gitar. Dan ya, Gamaliel drummer. Karena sekarang kamu udah ngisi posisi gitaris, dia bakalan tetap di basis. Sampai sini ada yang mau lo tanyain, Jak?"

Reza mundur beberapa langkah berusaha mendapat jarak yang pas untuknya. "Untuk genrenya kita sama, kan, Kak?"

Sena mengangguk santai. "Indie-blues. Yah, walau ada kemungkinan kita main di blues-rock. Siap-siapa aja deh pokoknya. Ada lagi"

"Kalau gak ada lagi ya udah kita mulai latihan. Sorry to say, gue masih ga setuju lo di band ini. Tapi gue bakal berubah pikiran kalau lo bisa main dengan bagus," sela Bima. Ia mendekat pada Reza, menunjukkan ekspresi tidak sukanya pada adik kelasnya itu.

"Kalau gitu kalian berdua jamming aja. Tuh, ada gitar satu lagi punya studio. Biaya charge biar gue yang bayar."

Ucapan Sena membuat jantung Reza melompat. Ia kaget mendengar hal tersebut seolah ia sedang ditantang melawan bos terakhir dalam sebuah gim. Ia menatap Sena, berusaha membuat gadis itu berubah pikiran. Karena ia benar-benar tidak ingin melakukannya.

Bima menghela napas panjang. Ia beralih, mengambil gitar listrik biru, memasang kabel dari gitar ke amplifier, lalu mendekat pada Reza. "Keluarin gitar lo, kita jamming."

Reza kembali menatap Sena, menunjukkan pertanyaan di wajahnya 'apakah aku benar-benar harus melakukannya?', tetapi Sena hanya membalas pemuda itu dengan senyuman dengan wajah yang berkata 'tentu saja. Lakukan dan buat dia terdiam.'

Reza menghela napas panjang lantas mengeluarkan gitarnya yang berwarna merah dari tas. Ia memasang kabel dari gitarnya ke amplifier lantas menatap Bima dengan wajah pucat.

"Peraturannya sederhana. Jamming dari lagu apa aja, diperbolehkan, jamming dengan intonasi sendiri juga diperbolehkan dan genre bebas. Dimulai dari Bima." Sena bersuara. Gamaliel tetap duduk diam di kursi drumnya. Menatap kedua orang yang tengah membuang waktu sewa ruangan.

Reza menatap Bima dengan serius. Ia tahu dengan cara bermain pemuda itu, membuatnya terlihat sudah lama bergelut di bidang musik. Cara memainkannya berbeda, tidak membuat pergerakan jarinya sia-sia. Yang paling membuatnya takjub adalah, pemuda itu memainkan genre metal. Bima berhenti bermain, membuat Reza harus segera memetikkan gitarnya.

Tangannya bergetar hebat karena grogi. Ia tidak memiliki permainan keren seperti itu. Permainannya hanya biasa. Ia memainkan lagunya sendiri yang bergenre indie. Ia perlahan mendapat ritmenya untuk bermain dengan tenang. Jarinya bergerak cepat, mengganti chords dan memetik senar dengan cepat. Lalu, setelah dua menit, ia berhenti bermain. Tetapi, Bima tidak melanjutkannya.

"Lo....lo yang pernah ikut Bluescarie 2 tahun lalu? Morphin?" Bima yang terdiam mengeluarkan pertanyaan itu. Wajahnya menunjukkan betapa kagetnya dirinya setelah mendengar lagu dan cara bermain Reza. Ia memang terlihat seperti pemula, tetapi pemula tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam membuat lagu seperti itu. Setidaknya itu pola pikir Bima.

Reza juga terdiam kaget. Ia tidak menyangka ada yang mengenalnya dari lagu itu. Lombanya dilakukan secara online, dan lagu pemenang mendapatkan royalti dan di upload oleh penyelenggara acara. Tidak ada peserta yang saling menunjukkan wajah kecuali dari akun sosial media mereka sendiri. Dengan uang itu, Reza berani keluar kota dan membeli gitar barunya.

"Gue yang ini!" Bima memainkan kembali gitarnya, menunjukkan permainan super cepat namun terkendali nadanya. Lalu berhenti dalam 30 detik dan kembali menatap Reza.

"Bime time!" seru Reza kaget

Bima mengangguk mantap. "Anjir lo anjir!" Ia mengusap wajahnya, seolah tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ia ingat tentang perlombaan itu. Di mana ia memenangkan juara kedua dan orang yang di depannya juara pertama. Saat mendengarkan permainan gitarnya waktu itu, Bima pikir bahwa yang juara pertama adalah mahasiswa dari jurusan musik atau semacamnya, ia tidak menyangka justru bocah yang lebih muda darinya.

"Lo paham, kan, sekarang, kenapa kami rekrut dia?" Gamaliel akhirnya membuka suara. Hanya karena Reza selalu terlihat sopan, bukan berarti pemuda itu tidak memiliki skill, Gamaliel melihat potensi itu dan ingin mengembangkannya dengan baik.



♪ ♪ ♪ ♪

Ceruk KosanOn viuen les histories. Descobreix ara