"Bagaimana kalau di otakmu, Galahad?" Moncong senapan itu ditekankan ke ubun-ubun Galahad.

"Ah! Pak tua... Lama tidak berjumpa." Galahad membalikkan tubuhnya dengan santai, seakan-akan tidak sadar kalau sebuah senapan tembak berada tepat di depan wajahnya.

Sesaat sebelum pria paruh baya itu menarik pelatuk, Galahad menendang pangkal senapan itu, melambungkannya ke udara. "Bukankah sedikit tidak adil kalau kau memakai senapan?" Senyum sinting menghiasi wajahnya.

Pria berambut perak itu tersenyum sinis, membalas senyuman gila Galahad. "Kau benar, mungkin ini saatnya aku melihat seberapa jauh aku men--"

Sebuah garis sepanjang sepuluh sentimeter tertoreh di wajah pria tua itu sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya.

"Aturan pertama, jangan pernah lengah." Galahad tersenyum, bilah pisau peraknya kini berlumuran darah lagi, seperti sebagaimana harusnya.

.
.
.

Aku terkejut setengah mati setelah mendengar peluru itu mendesing melewati telingaku dan bersarang di tengkorak William.

Marco ada disini, dia mengintai kami sejak tadi.

Pemikiran itu langsung muncul di benakku layaknya pesan masuk di desktop komputer.

William telah tewas, tidak mungkin dia selamat setelah peluru itu mengoyak otaknya.

Yang terpenting sekarang adalah mencari tahu darimana asal peluru itu.

Aku bersembunyi kedalam rumah kayu, berusaha keluar dari bidikan Marco dan senapannya. Satu hal yang pasti, Marco berada di tempat tinggi. Sudut datang peluru itu terlalu tajam dan curam, kemungkinan besar dia berada di atas sebuah pohon atau di bukit kecil.

DARR

Suara tembakan kedua mengagetkanku, kali ini tidak tertuju kearahku maupun William... tidak. Tembakan ini berasal dari kejauhan.

Aku mengintip keluar rumah dan dari arah utara aku melihat sesuatu berkilau kemerahan, kurang lebih dua ratus--tidak, tiga ratus-- meter jauhnya.

Saat aku menyadari kalau cahaya merah itu adalah laser bidikan, aku sudah sedikit terlambat.

Tembakan ketiga melesat langsung kearahku, aku sempat menghindar namun tidak cukup cepat. Alhasil peluru itu menembus telingaku, memotongnya layaknya pisau panas memotong mentega.

Aku tidak tahu yang mana yang lebih mengerikan, telinga kananku tergeletak di lantai atau aku akan mati. Kurasa keduanya.

Aku nyaris tidak bisa mendengar apa-apa, hanya suara dengungan layaknya radio rusak yang dapat kudengar. Tubuhku juga mulai oleng, kurasa ini yang mereka maksud kenapa telinga penting untuk keseimbangan.

Tembakan keempat datang tak terduga, aku bahkan tidak menyadarinya sebelum peluru itu menembus pundak kananku.

Potongan tulangku ikut terlontar keluar bersamaan dengan peluru itu, rasa sakit yang perlahan lahan berubah menjadi rasa dingin yang membekukan.

Aku akan mati.

Kata-kata itu terngiang-ngiang di benakku, kata-kata yang sangat nyata.

Nafasku tercekat secara harfiah saat peluru kelima menembus leherku, merobek pipa pernafasanku.

Tubuhku mulai lemas, aku kehilangan terlalu banyak darah. Rusaknya tenggorokanku memperparah keadaan, sekarang aku kekurangan darah dan oksigen.
Marco bisa saja meninggalkanku seperti ini dan aku akan tetap mati dalam beberapa menit kedepan.

Untung saja... dia masih berbaik hati dengan menanamkan peluru terakhir itu ke tengkorakku.

Linda... kita akan segera bertemu.

.
.
.

Kepala Arthur yang hancur berantakan mengotori sepatu Prada Milano Galahad yang baru saja dibelinya kemarin. Meskipun Arthur tangguh dan tidak bisa dianggap remeh, dia hanyalah manusia biasa. Peluru senapan tembak masih bisa membunuhnya dengan mudah, terlalu mudah malahan.

"Nah, sampai dimana kita tadi?"

Galahad memungut senapan laras panjangnya yang tergeletak diantara dedaunan, mulai membidik Smith yang sedang bersembunyi dibalik rumah kayu itu.

"Satu~ Dua~ Tiga~ Boom~"

Dengan santai Galahad menembaki Smith yang sudah terpojok itu dari kejauhan. Peluru pertama mengenai telinganya, padahal tadinya itu ditujukan untuk kepalanya.

"Berhenti bermain-main. Jadilah anak yang baik dan duduk diam."

Empat peluru cukup untuk membungkam pria itu selamanya. Ironis, dia tewas di tempat yang sama dengan 'kekasih'-nya tanpa menyadarinya sedikitpun.

"Sudah selesai? Membosankan." Galahad duduk di tepi bukit, meminum vodka dari botol kecil yang diambilnya dari jasad Arthur. Asap rokok yang diisapnya hilang tertiup angin malam, selagi mata onyx-nya memantulkan cahaya bulan yang bersinar kemerahan.

Galahad menghela nafasnya.

"Bagaimana kalau aku membunuh-nya sekarang?"

.
.

[End of File 09]

Author's Note :

Hai-hai~ maaf kalau diriku sempat menghilang sejenak... itu dikarenakan ada sesuatu yang mendesak (padahal sibuk main game). Tapi biarlah! Bagaimana chapter ini? Kutunggu kritik dan saran kalian di comment! Terimakasih sudah meluangkan sedikit waktu dari hidup kalian yang berharga untuk membaca ceritaku!

-danchandr

Inside [ON REVISION/REWRITE]Where stories live. Discover now