File 09

3K 401 22
                                        

[Smith]

Kengerianku memuncak begitu tubuh kosong gadis itu nampak di hadapanku. Terikat ke kursi dan tak mampu melawan terlebih lagi melepaskan diri. Aku hampir dapat membayangkan ketakutan gadis itu setiap kali psikopat itu melukainya.

Tak banyak yang tersisa di rumah kayu yang berada di tengah hutan ini, selain tumpukan tulang-belulang yang sudah tidak dapat dikenali memenuhi setiap sudut ruangan. Pria brengsek itu benar-benar harus ditemukan

Sudah delapan belas bulan sejak Marco melarikan diri, delapan belas bulan lalu seharusnya dia sudah tewas digantung di hadapan masyarakat dunia. Namun siapa sangka, dialah yang memegang tali itu dan melingkarkannya di leher kami, anggota kepolisian.

Aku masih tidak mengerti bagaimana caranya dia bisa melarikan diri dari van itu. Padahal, kedua tangan dan kakinya diborgol dan kuncinya tidak dibawa oleh petugas yang ada di van itu. Namun, dia masih bisa membunuh semua orang di dalam van itu dan melarikan diri. Dia memang pembunuh keji, namun harus kuakui dia memang luar biasa dalam apa yang dilakukannya.

Image kepolisian di mata masyarakat sejak saat itu mulai rusak, mereka mulai kehilangan kepercayaan dan tidak mengindahkan amanat kami. Tepat seperti apa yang diinginkan oleh Marco.

Dengan berkurangnya dampak kepolisian, tingkat kejahatan melonjak layaknya roket. Masyarakat mulai melakukan segala sesuatu sesuka hati mereka, bahkan melawan kepolisian.

Sejak Marco melarikan diri juga, satu persatu anggota Camelot mulai menghilang, pertama Lamorak, Gareth, dan sekarang Kay. Arthur mulai kehabisan kesabaran dan memerintahkan anggota yang tersisa untuk cepat menemukan Galahad.

Aku dan William berhasil melacak jejak Marco hingga ke sebuah hutan di Atlanta. Namun setelah menemukan rumah kayu ini dan tubuh tak bernyawa gadis itu, kami menemui jalan buntu.

"Melihat dari kondisi tubuh gadis ini, dia benar-benar meninggal beberapa hari yang lalu." Ujar William, jari jemarinya membuka irisan-irisan di tubuh gadis itu.

"Berarti Marco masih belum jauh." Aku mengamati satu persatu tulang yang bertebaran di rumah ini. "Demi Tuhan... berapa banyak orang yang kehilangan hidupnya di tempat ini?"

William membuang puntung rokok keantara tulang belulang itu. "Entahlah, dua puluh?"

"Kau tahu, bahkan untuk seorang Camelot, ini sedikit berlebihan. Dia menyiksa korbannya baik secara fisik maupun mental."

"Harus kuakui kau benar, Marco sudah kelewatan. Aku tidak bisa memaafkannya." William memasukkan senter kedalam saku celananya. "Kita kemari lagi besok, siapa tau Marco akan kembali kesini."

.
.
.
.

Kedua pria itu berjalan keluar dari rumah yang kayunya telah lapuk itu, sedikit mereka ketahui kalau orang yang mereka cari selama ini mengintai mereka dari kejauhan, sudah siap dengan senapan laras panjang dan jarinya di pelatuk. Siap menembak kapan saja.

Senyuman lebar Galahad nampak di wajahnya ketika peluru pertama meraung keluar dari selongsong senapan.

Sesaat setelah raungan peluru itu memecah keheningan malam, salah seorang pria terjatuh, cairan kemerahan mengalir dari lubang di pelipis kanannya.

"Lihatlah kalian..." Galahad tertawa kecil, dengan santai dia memasukkan peluru kedua kedalam senapan. "Menyedihkan kalau hidupmu harus berakhir seperti ini, bukan?"

Jari telunjuk Galahad sudah berada di pelatuk, siap menghabisi seorang pria lagi yang nampak kebingungan setengah mati.

"Nah, dimana kau ingin peluruku bersarang?" Galahad melanjutkan monolognya, merasa dirinya telah menang.

Inside [ON REVISION/REWRITE]Where stories live. Discover now