File 06

3.9K 503 28
                                    

"Kau akan terus bersamaku, kan?" Linda bersandar di pundakku, kami berdua berbaring di sebuah padang rumput, menatap langit malam yang penuh dengan bintang.

"Bicara apa kau? Tentu saja kita akan terus bersama." Aku mengelus kepala Linda, rambutnya yang kecoklatan bersinar diterangi cahaya rembulan. Sungguh, aku benar-benar cinta pada wanita ini.

"Kau janji?" Linda menatap mataku, dia menjulurkan jari kelingkingnya kepadaku.

"Aku, Smith Welson, berjanji kepadamu untuk selalu berada disisimu, sampai kapanpun." Dengan halus aku mengecup kening Linda, dia tersenyum layaknya anak kecil yang baru mendapat sebuah lolipop besar.

"Kau sudah berjanji, yah!" Linda mencubit pipiku. "Dan laki-laki sejati harus bisa menepati janjinya!"

Sekali lagi aku mengecup kening Linda. "Bahkan sampai mati pun akan kupegang janji itu."

.
.
.
.
.
.

Hari ini...

Tepat setahun meninggalnya Linda.

Gemuruh petir dan derasnya hujan menemaniku mengunjungi makam Linda. Disana sepi, tidak ada yang mengunjunginya... mungkin karena hujan.

Aku tidak bisa menahan betapa sedihnya diriku, air hujan mungkin menutupi derasnya air mataku... Namun, tidak ada yang bisa menutupi lubang di dalam hatiku ini.

"Linda..." ucapku pelan, dengan nada sedikit terisak. "Apa kabarmu disana? Aku merindukanmu..." Air mata menetes keluar dari mataku, aku tidak bisa membendung derasnya aliran emosi yang ada didalam tubuhku saat ini. "Kau yang tenang yah... Aku ingin sekali menyusulmu, Linda. Aku ingin sekali bertemu denganmu lagi."

Tidak ada jawaban. Sudah kuduga, tidak ada gunanya menangisi orang yang sudah tidak ada. Aku ingin rasanya mengangkat diriku kembali, namun sulit... Sangat sulit.

"Aku ingin mengatakan satu hal kepadamu, Linda." Aku memegang batu nisan Linda yang berbahan dasar marmer. "Sampai kapan pun juga, aku akan selalu menunggu balasan atas pertanyaanku waktu itu."

"Welson"

Awalnya kukira aku mendengar suara Linda. Namun, suara yang barusan kudengar terlalu kasar dan berat. Lebih mirip suara laki-laki.

Dibelakangku berdiri William, kakak dari Linda. Dia hampir saja menjadi kakak iparku, seandainya Linda tidak meninggal.

"Aku tahu, kehilangan orang yang kau sayangi memang berat." William menepuk pundakku, berusaha membuatku nyaman.

Aku malah merasakan sesuatu yang berkebalikan dari definisi 'nyaman'. Keberadaan kakak tunanganku selalu mengintimidasiku, apalagi setelah aku tahu kalau dia adalah atasanku.

"Terima kasih, William." Aku membalas sopan, menghapus air mataku. "Tapi aku baik-baik saja, kok."

William mengelus batu nisan Linda. "Dia perempuan yang baik..." William kemudian mengalihkan pandangannya kearahku. "Kau adalah pria yang beruntung."

William memutar tubuhnya dan bersiap untuk pergi. "Aku rasa aku tahu siapa yang membunuhnya."

Satu kalimat itu saja cukup untuk membangun amarahku layaknya permainan tetris. Adrenalin dalam darahku melonjak drastis, jantungku berdebar semakin kencang.

Aku harus tahu siapa dia.

Pikirku, namun kenyataan sungguhlah menyakitkan.

Saat nama 'Marco Gillard' terucap oleh mulut William, amarahku langsung reda dan tergantikan rasa kecewa yang teramat dalam. Sebagian diriku ingin percaya akan perkataan William, sebagian lagi menolaknya layaknya seorang anak lima tahun yang dipaksa makan brokoli.

Inside [ON REVISION/REWRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang