File 05

4.2K 581 65
                                        

TOK TOK

Sudah waktunya lagi, yah?

Terakhir kali, mereka mencabut kuku tanganku dari jariku, menaburkan garam keatas daging tempat kuku tadinya tertanam. Kapan yah itu? Dua minggu lalu? Tiga minggu lalu? Entahlah, waktu berjalan sangat lambat di tempat kecil ini.

"Marco." Ujar seorang pria dari luar pintu baja yang dikunci rapat. "Kau tahu kau tidak perlu melakukan ini pada dirimu sendiri, bukan?"

"P-Persetan de-denganmu...." Tubuhku bergemetaran.

"Sudah lima-belas minggu, Marco." Pintu baja itu terbuka secara perlahan, menampakkan sesosok pria yang familiar, William. Awalnya aku juga kaget, tapi entah bagaimana dia masih hidup setelah kutembak tepat di kepalanya. "Kau tidak harus menderita seperti ini."

"Lebih baik kau tutup mulut kecilmu dan segeralah selesaikan ini."

"Kukira kau tidak peduli dengan siapapun." William mengambil kunci borgolku dari sabuknya, berjalan mendekatiku dengan dua orang menjaga dibelakangnya. "Kurasa aku salah."

"Marco! Kau harus segera keluar dari situ, mereka mengepungmu... Kalau kau berlama-lama, aku yakin mereka akan melumpuhkanmu dan menangkapmu!"

Kata-kata Lucile terngiang dikepalaku... Sudah lima-belas minggu sejak mereka menangkapku, menyiksaku, mengurungku layaknya sebuah monster. Awalnya, aku membunuh banyak anggota kepolisian, namun William muncul dan mengacaukan segalanya. Pelurunya bersarang di mata kananku, memaksaku melanjutkan hidup dengan satu buah mata.

"Sudah tiba... Dia milikmu sekarang." William memberikan kunci borgol ke seseorang bertubuh besar, dia mengenakan pakaian serba hitam.

"Dengan senang hati...." Tawanya menusuk telingaku, dia adalah Alfonsò, 'penyiksa' pribadiku.

Alfonsò memulai rutinitas harian kami dengan mengambil sebuah martil ukuran besar dan membersihkan darah dari martil itu. "Kita akan mulai, kau siap? Ingat, kau bisa menghentikan semua ini hanya dengan memberitahu siapa yang menugaskanmu."

Aku meludah ke wajah Alfonsò, yang dengan jelas membuatnya kesal. Dia menghantamkan martil besi itu ke ibu jari kakiku yang sudah tak berkuku dengan sekuat tenaga. Aku serasa tersambar petir, seluruh otot di tubuhku menegang, aku mulai meronta layaknya seekor ayam yang hendak dipotong. Ironis... Aku pernah melakukan ini pads seseorang sebelumnya, dan siapa sangka? Akulah ayam yang dipotong itu kali ini.

"Kau harus belajar sopan santun, Marco." Alfonsò meneguk segelas vodka buatan tahun 1904, dia menuangkan sedikit keatas ibu jari kakiku yang remuk.

Tubuhku berdenyut, rasanya perih... Sangat perih. "Kau harus belajar menyiksa seseorang dengan benar, Alfonsò."

Pria berkulit gelap itu melemparkan martilnya kesamping, dan mulai menjarah kotak peralatan yang tersender di tembok ruangan penyiksaanku. "Kita lihat... Kira-kira apa, yah? Yang bakal membuatmu mengatakan kebenaran?"

"Bokong ibumu...." Aku meludahkan darah kearah Alfonsò.

Alfonsò terdiam, dia tertawa tak lama kemudian. "Mereka bilang aku tidak boleh membunuhmu..." Dia mengambil sebuah stik baseball dengan paku berkarat mencuat diujung tongkat itu. "Tapi mereka tidak bilang kalau aku tidak boleh membuatmu sekarat."

Dia mengayunkan stik berpaku itu ke pipiku, sebagian paku menancap dan sebagian lagi merobek jaringan kulit dan otot pipiku. Dia melanjutkan aksinya dengan memukul paha kananku dengan stik yang sama, dan lagi, paku yang mencuat itu merobek sebagian besar otot pahaku, meninggalkan rasa sakit yang teramat sangat. Aku nyaris kehilangan kesadaran saat stik itu menghantam ubun-ubunku, beberapa paku menancap ke tulang tengkorakku dan terdiam disana setelah Alfonsò menarik stiknya.

"Hanya... Segitu?" Ledekku, Alfonsò adalah orang yang cepat naik pitam. Aku bisa memanfaatkan itu suatu saat nanti... Itupun kalau aku selamat kali ini.

Seakan merasa tertantang, dia mengayunkan stik itu sekuat tenaga ke perutku, merobek otot dan bahkan merobek sedikit jaringan ususku. Darah kumuntahkan melalui mulutku, keringat mengalir layaknya aku kehujanan.

"Cukup." Suara William terdengar melalui speaker di pojok ruangan. "Kau akan membunuhnya, kita memerlukannya tetap hidup."

Alfonsò tampak kesal, dia melemparkan stik baseball berpakunya kesamping dan menendang dadaku. "Kutunggu kau besok, Marco."

William mengantarkanku kembali ke sel-ku setelah lukaku dibersihkan oleh perawat.

"Aku kasihan padamu, Marco." William berkata sambil memborgol tanganku ke tembok. "Kenapa kau melakukan ini?"

Aku menyeringai, membuat William mengambil beberapa langkah kebelakang. "Karena aku ingin melihat kapan aku akan 'rusak'... Kapan aku akan menjadi monster yang kalian inginkan."

William meninju wajahku dengan keras. "Kau sudah benar-benar tak tertolong, Marco."

Pintu ditutup dan dikunci oleh William, meninggalkanku sendirian dalam ruangan berukuran 4 x 4 x 2.5 meter yang kosong dan sunyi. Tanganku diborgol olehnya ke tempat tidurku, untungnya rantainya cukup panjang untukku agar dapat melakukan 'bisnis'ku dengan kloset.

"Oh, William." Senyum lebar menghiasi wajahku. "Tolong panggil aku Galahad."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Lima tahun berlalu, aku menghabiskannya didalam sel-ku, sendirian, hanya lampu remang dan tempat tidurku yang menemaniku. Rambutku tumbuh berantakkan, luka-luka ditubuhku sudah mengering dan menghilang, mereka sudah berhenti menyiksaku sejak aku kehilangan kemampuanku berbicara karena Alfonsò merusak otakku 'sedikit' terlalu parah. Aku sempat mengajukan untuk menghukum mati diriku, namun mereka tidak mengabulkannya... Sampai sekarang.

Kini mereka telah menciptakan sebuah monster yang sempurna, mesin pembunuh yang tercipta oleh tekanan dan siksaan berukang-ulang. Aku dan Galahad sudah tak ada bedanya lagi, dia mulai berhenti berbicara kepadaku tahun lalu, dan kurasa disaat itulah aku menjadi diriku yang sekarang.

Mereka memutuskan untuk mengeksekusi mati diriku karena aku sudah 'tidak berguna' bagi mereka. Eksekusi itu akan berlangsung hari ini, di depan Gedung Putih, disaksikan orang dari seluruh dunia. Karena aku adalah salah seorang pembunuh terbesar sepanjang sejarah, mereka mengatakan kalau aku pantas mendapatkan perhatian dunia.

Sedikit yang mereka ketahui kalau 'Marco Gillard', si pembunuh yang mereka akan eksekusi sudah lama mati... Aku membunuhnya, mengubur jasadnya, dan bangkit sebagai seorang yang tak bisa merasakan apapun lagi. Seorang pembunuh yang benar-benar berbeda dari sebelumnya, Galahad.

Sedikit juga mereka ketahui kalau mereka-lah yang akan dieksekusi mati dimuka umum. Bertahun-tahun ditahan dipenjara ini memberikanku keuntungan yang besar, aku sudah menghapal semua gerak-gerik, tingkah laku, dan kebiasaan setiap orang di tempat ini. Dan karena aku tidak bisa berbicara lagi, indera pendengaranku meningkat ketajamannya dua kali lipat. Aku dapat mendengar suara seekor jangkrik 20 meter diluar sel-ku pada siang hari yang ramai.

Tutuplah matamu, maka kau akan melihat segalanya.

Tujuanku hidup saat ini hanyalah satu...

Mencari Lucile, membunuhnya, dan mengirimkan kepalanya ke Gedung Putih untuk ayahnya tercinta.

TOK TOK

"Bangun, bersiaplah." William mengetuk pintu baja dari luar.

Sudah waktunya, yah?

"Kau akan mati di depan banyak orang. Berdoalah kepada Tuhanmu... Itupun kalau kau punya Tuhan." William bergurau, membuka pintu baja.

Aku menatapnya dengan mata kiriku yang tersisa. Aku tertawa layaknya orang gila, menepuk-nepuk kedua tanganku kegirangan.

"Alfonsò benar-benar merusakmu, yah?" William tertawa, melepaskan borgol dari tembok dan membawaku menuju kedalam mobil van polisi.

"Semuanya akan baik-baik saja...." Ujarku serak, tersenyum dari ujung ke ujung.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
End of File 05.
.
.
.
.
.
.
((Maaf banget kalo updatenya super lama. Soalnya banyak tugas minggu minggu terakhir ini! Tapi akhirnya keluar juga! Bagaimana chapter ini? Menarik? Aneh? Menyebalkan? Atau bagimana? Berikan vote dan comment kalian mengenai part ini! semoga kalian menikmatinya! -danchandr))

Inside [ON REVISION/REWRITE]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن