Bab 11: Rahasia (4)

3 1 0
                                    

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”

Semilir angin berhembus. Burung-burung kembali ke sarang. Langit merona, menghadirkan warna jingga menyejukkan mata. Mangga Golek memandang Sengon Muda. “Kalau tidak salah dengar, kau pernah mengeluh karena tidak punya teman, Sengon?”

“Siapa yang mau berteman dengan penggerutu seperti dia, Tetua? Aku saja senewen dibuatnya. Perusak suasana dan mood saja.” Sukun menghembuskan napas.

“Dia tidak tahu kalau ada teman yang setia menemaninya selama ini.” Angin bertiup sedikit kencang,  membuat daun dan ranting Sengon Muda bergoyang.

“Semut Merah, Ratu, tolong keluarlah sekarang?!” Suara Mangga Golek membuat pohon kayu muda yang memilih diam, tidak menjawab pertanyaan tetua tanah lapang heran.

“Mengapa Mangga Golek memanggil semut menjengkelkan itu?” pikir Sengon Muda. “Pekerjaan mereka hanya hilir mudik di batangku, berkeliaran di sekeliling tanah seputarku dan membuat sarang tepat di pangkal batangku. Sungguh membuat risih dan kesal.”

Ratu Semut ditemani beberapa semut kepercayaannya terlihat berjajar di lubang sarang mereka. “Kau memanggil kami, Tetua?”

“Benar! Terima kasih telah keluar dari tempat ternyamanmu, Ratu. Kalian baik-baik saja, kan?”

“Alhamdulillah kami semua selamat dan sehat, Tetua.” Sang Ratu tersenyum sambil mengangguk. “Meski ya .. sarang kami kebanjiran. Kami sempat repot menyelamatkan diri dan mengamankan sarang ketika hujan lebat kemarin. Semua memang harus turut prihatin dengan apa yang terjadi di Gunung Merapi, kan?”

Semua yang mendengar mengangguk kecuali Sengon Muda. Sukun yang melihat sengon hanya diam menjadi kesal.

“Berteman saja kamu belum bisa, Ngon, Sengon apalagi berempati, ikut merasakan sedikit derita mereka yang sedang mengalami bencana. Jian, jian, bagaimana bisa kamu anak dari Sang Penjaga?” Sukun menggeleng-gelengkan kepala. Sengon Muda hanya bisa menatap jengkel ke Sukun lalu menundukkan kepala.

“Sudah, sudah, hentikan usilmu, Sukun. Aku mulai pusing mendengarnya.” Mangga Golek melerai. Ratu Semut memandang sang tetua iba.

“Kami keluarga besar semut merah turut prihatin atas apa yang akan terjadi padamu, Tetua. Juga kau, Sukun. Kami sangat sedih mendengar berita itu.” Ratu Semut menundukkan kepala diikuti para pejabat pentingnya. Mangga Golek tersenyum.

“Aku sebenarnya masih ingin mendampingi kalian, menghabiskan waktu di tanah lapang ini. Tapi ... ada yang lebih berkuasa dari kita, kan?” Semua kembali mengangguk paham. Kali ini, Sengon Muda ikut mengangguk pelan.

“Hah, rupanya kali ini kau mengerti, Ngon, Sengon. Ingat, aku hanya akan tenang ketika kau berubah, tidak lagi mengeluh dan menjadi tukang omel nomor satu. Kalau kau masih tetap begitu, aku akan menghantui hidupmu.”

Sukun kembali menggoda. Yang lain tersenyum sementara Sengon Muda khawatir.

“Jangan takut, Sengon Muda, nanti kau akan melihat sendiri, Semut Merah selalu setia menemanimu. Mereka akan membantumu sesuai dengan kemampuan mereka, setiap kau  mendapat kesulitan. Bukan begitu, Ratu?” Mangga Golek kembali menenangkan suasana.

“Tentu saja, Tetua. Semua semut merah paham, janji setia kami kepada keturunan Sang Penjaga. Kami tetap setia sejak peristiwa itu terjadi.”

“Apa maksudmu, Ratu? Kalian punya janji apa ke si tukang omel itu?” Sukun penasaran. Matahari yang mulai tenggelam menjawab.

“Mereka berjanji akan menjadi teman setia bagi keturunan Sang Penjaga. Selalu siap membela dan membantu ketika mereka mampu di saat Sengon Muda mendapat kesulitan.”

“Wow, beruntung sekali kau, Ngon.” Sukun takjub.

“Itu janji yang luar biasa. Mengapa kalian melakukannya, Ratu?“ Kutilang bertanya.

“Jasa besar Sengon Tua, itulah sebabnya.” Angin menjawab. Ia bertiup lembut di sekeliling mereka.

“Sebelum batangnya tersambar petir, Sang Penjaga telah memperingatkan para semut yang bersarang di sekitarnya untuk segera menyelamatkan diri.” Sang bayu menjelaskan.

“Jenis kami selamat dari sambaran petir karena peringatannya. Itulah kebaikan terakhir Sang Penjaga kepada semut merah.” Ratu Semut menarik napas dalam-dalam.

“Tidak banyak pohon yang menerima keberadaan kami di sekitar mereka. Mereka takut dengan gigitan kami. Tetapi tidak dengan Sang Penjaga. Ia selalu ada saat pendahulu kami kesulitan.” Sang ratu menatap Sengon Muda.

“Ayahmu dengan senang hati menerima sarang kami di sekitarnya. Ia juga berkenan berbagi air minum dan makanan, menjadikan dirinya sebagai salah satu tempat kami mencari rezeki.” Ratu Semut tersenyum manis.

“Seburuk apapun kelakuanmu, Sengon Muda, kami akan tetap menjadi teman setia, dari generasi ke generasi.”

Sang ratu berdiri, mengatupkan tangan membentuk sembah dan menganggukkan kepala diikuti pejabat penting semut merah lainnya.
Sengon Muda dan yang lain terpaku melihatnya.

*TQS Fushshilat [41]: 34

Kisah Pohon Kayu (KPK)Where stories live. Discover now