Bab 4: Anak-anak

12 2 0
                                    

“Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi: Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.”

Sengon Muda gembira pagi ini. Matahari bersinar cerah dan ia bisa berjemur sepuasnya.
Setelah kemarin diguyur hujan sedemikian deras, pagi ini pohon kayu muda itu bisa lega dan menghangatkan diri. Ia melambai-lambaikan daun, menggerak-gerakkan ranting dan dahan agar terkena sinar mentari pagi.

“Terima kasih, Tuhan.” Sengon Muda berkata pelan. Ia kembali menggoyang-goyangkan batang, kali ini mencoba menghilangkan lumpur yang masih tersisa.

“Tuhan?! Sejak kapan kau ingat dan berterima kasih pada Tuhan, Sengon Muda?” Sukun yang mendengar ucapan pohon kayu itu sedikit takjub, tak percaya.

“Bukan urusanmu, Sukun.” Sengon Muda tak mempedulikan sindiran pohon yang paling dekat dengan dirinya itu. Ia mengamati anak-anak yang pagi-pagi sudah bertandang ke tanah lapang.

Ada lima anak semuanya. Dua anak terlihat memakai baju kusut, tanda belum mandi.

Awalnya mereka duduk di tiga bangku semen berbentuk tabung yang berada di dekat Sukun. Tidak lama, kelima anak itu mendekati Sengon Muda dan seperti biasa, bermain tanah di keteduhan pohon kayu itu.

“Ah, anak-anak ini. Tidak bosan-bosannya bermain tanah di sini. Membuat lubang di sekitarku. Menjengkelkan!” Sang sengon mulai menggerutu.

Bocah-bocah berusia empat sampai delapan tahun tidak tahu kekesalan Sengon Muda. Mereka asyik melubangi tanah, membuat gundukan serupa gunung atau mencampur tanah dengan air.

“Banyu, Bening! Ayo pulang dulu!” Suara seorang perempuan terdengar. Sosoknya kemudian muncul di tanah lapang, berkerudung dengan helai rambut yang sedikit terlihat. Bulik Welas, begitu anak-anak biasa memanggil.

Ia kemudian menghampiri dua anak berbaju kusut. “Mandi dulu, nanti main lagi.” Perkataan perempuan itu tidak langsung diiyakan kedua bocah.
Setelah bujukan dan hitungan entah sampai angka keberapa, akhirnya dua anak itu pun pulang.

Sengon Muda melihat semua yang terjadi dengan tatapan sedih. “Ah, bahagianya memiliki orangtua yang peduli, juga teman-teman yang bisa diajak bicara, bermain bersama,” kata pohon kayu itu.

Sukun langsung berkomentar. “Berteman denganmu, Sengon?! Siapa yang mau berteman dengan tukang omel dan pengeluh nomor satu?!”

Mangga Golek menengahi. “Sudahlah, sudah. Bisakah kalian berhenti berisik? Kedamaian pagi ini terganggu gara-gara pertengkaran kalian.” Tidak seperti biasanya, nada bicara sesepuh tanah lapang itu terdengar lemah.

Sengon Muda dan Sukun berpandangan penuh tanda tanya kemudian dengan cepat saling membuang muka.

Sang sengon heran. “Apa yang terjadi dengan Mangga Golek?” Ditatapnya tetua tanah lapang itu. Ada beberapa benalu yang tumbuh di dua tiga dahannya. “Itukah yang membuatnya lemah?”

Sengon Muda kemudian memandang tanah lapang. Ada beberapa tanaman tahunan berikut tanaman hias yang tumbuh di pinggirnya. Warga yang menanam semuanya.

Selain Mangga Golek dan Sukun, ada pohon jambu, nangka, alpukat dan beringin. Tanaman hias seperti mawar, melati, puring, pucuk merah ditanam bersama tanaman dapur dan obat semisal sirih, pandan, cabai serta lainnya.

Sengon Muda membayangkan bila ia berteman baik dengan semua penghuni tanah lapang. Tiba-tiba sengon teringat sesuatu. Sang penjaga, sahabat tanah lapang? Siapa dia? Ia pasti tumbuh di pinggir tanah lapang sehingga bisa lebih mudah berteman dan mendapat sahabat.

Banyu, salah satu bocah berbaju kusut telah kembali ke tanah lapang. “Kalian mau ini? Gurih, lho.” Suara si bocah yang antusias memutus lamunan Sengon Muda.

Baju si anak sudah berganti kaos Batman. Ia membawa sepiring camilan yang langsung menarik minat anak-anak lain.

“Disemprot ini dulu tangannya!” Bening si kakak datang sambil membawa botol kecil hand sanitizer.

Sudah beberapa kali Sengon Muda melihatnya. Kebiasaan warga di sekitar tanah lapang, berbagi makanan kecil ke teman bermain anak-anak mereka.

“Ya, kan kami berterima kasih, Mbak. Dengan bermain bersama, Banyu Bening dapet temen, aku bisa lanjut beres-beres atau kerja di rumah.”

Itu alasan Bulik Welas ke Mbak Endut, asisten rumah tangga baru anak tetangga, teman main Banyu dan Bening.

Di lain waktu, Sengon Muda melihat si bulik terpana mendengar cerita teman Bening, Riang. “Aku dijajain Mbak Bening dua ribu,” lapornya gembira saat bermain sepeda di dekat Sengon Muda, tepat di belakang gawang sepakbola.

“Ibu tahu, Riang itu jajannya cuma hari Jumat saja, lho. Itu pun hanya seribu rupiah.” Bening bercerita ke Bulik Welas saat Riang kembali asyik bermain sepeda keliling tanah lapang.

Sengon Muda melihat, mendengar semuanya. Ia tahu, pandemi Covid-19 mengajarkan sesuatu.

TQS Asyura: 49-51

Kisah Pohon Kayu (KPK)Where stories live. Discover now